Respond NOT react.
Itu terus yang digaungkan berulang sama tiga psikolog dan satu psikiater yang pernah menangani aku, dulu.
TRAUMA itu ada karena secara kejiwaan, kamu menolak peristiwa itu tapi tidak berdaya menerima dan menjalani paska-trauma itu sendiri.
Aku, sedari muda memang sudah pemarah. Uptight, istilah bulenya. Senggol-Tunjek, istilah Suroboyoan-nya. Dan apakah aku bangga? YA ENGGAK LAH! Penyakit jiwa itu! Kekanakan dan kurang dewasa!
Aku tahu traumaku dimana. Marahku dimana. Yang bikin marah tuh apa. Tahu semua. Cuman ya gitu, masih gak berdaya melawan nafsu untuk meluapkan amarah ke pihak lain yang memicu kemarahan kita.
Tapi Australia mengajarkan aku “sedikit” sabar. Ada aturan ketat di sini yang melarang orang buat Senggol-Tunjek. Ya palingan cuma mengaum keras sekali. Gitu thok.
Di Australia ada larangan main hakim sendiri. Harus mampu menjauhi pertikaian. Karena ada hukumannya kalau kamu (akhirnya) main tangan.
Saat aku masih aktif kerja di Supermarket Jerman di Busselton, Australia Barat ini, tidak terhitung berapa kali aku marah besar sama kastemer yang berani kurang ajar sama aku. Meskipun ada himbauan bahwa aku tidak seharusnya ikut larut dan emosional dalam menghadapi kastemer jancuk’an, tapi aku memilih melampiaskan amarahku untuk menghukum mereka. Kenapa? Karena aku ada trauma di masa lalu, yaitu sering diremehkan sama orang Australia.
Sebagai minoritas, dan saat awal-awal aku datang dan migrasi permanen di Australia, berkali aku diremehkan, direndahkan bahkan dibully. Darahku menggelegak. Setahun dua tahunan aku diremehkan dan kerap kali teleponku dibanting hanya gara-gara aksenku yang dikira aku ini orang India yang lagi jualan asuransi penguburan!
Aku marah!
Oh iya, itu terjadi saat aku masih jadi Asisten Dokter Hewan yang juga bojoku dewe (baca: Marmut).
Post Power Syndrome pernah melanda aku saat kali pertama datang ke Australia. Dari seseorang yang “dihargai” menjadi seseorang yang harus berusaha keras agar “dihargai”.
Jujur, aku marah sekali sama bule-bule sok iyes yang terang-terangan meremehkan aku. Dan kekesalanku itu aku lampiaskan ke suamiku, tentu saja. Akhirnya kita jadi kerap bertengkar. Solusi yang ditawarkan sama sekali ndak keren, aku diminta mengganti aksen. Lak gendeng! Mana bisa orang medok-jowo-suroboyo berganti aksen jadi sok Aussie? Dan buat aku yang kayak begini ini tuh RASIS!
Lantas solusiku sendiri bagaimana? Agak susah boy. Kastemer-kastemer jancuk’an itu terpaksa aku hadapi face-to-face satu persatu. Aku maju langsung menghadapi mereka. Dengan tegas dan agak ketus dan beneran sudah gak perduli lagi mereka mau terus jadi kastemer klinik-Hewannya bojoku lagi atau nggak. Aku gak perduli.
Manusia sok iyes, saat ditatap langsung matanya dan kamu mampu mengontrol arah pembicaraan dengan baik, mereka akan takluk. Kuncinya cuman satu, percaya diri.
Balik lagi ke kastemer kacrut jaman suamiku dulu jadi dokter hewan. Ada sekitar sepuluhan orang yang kemudian aku BLOKIR dan sama sekali gak tak angkat teleponnya karena mereka memang tidak bisa diajak bicara. Arogan, manja, rasis dan egois. Sampai sekarang nomor telepon dan alamat mereka-mereka yang aku blokir itu masih ada di data telepon dan komputerku.
Lalu saat menjadi karyawan toko di Supermarket Jerman itu bagaimana?
Gak ada, aku menyerah dan kemudian mengundurkan diri.
Nanti aku ceritakan di artikel lain bahwa orang Australia yang rasis dan jahat dan sering meluapkan kebodohannya pada para pekerja retail itu bagaimana. Intinya, aku sudah capai berantem terus sama kastemer asu karena aku sama sekali tidak bersedia mengalah. Wong diremehkan dan direndahkan kok ngalah? Yo emoh! Kene gelut karo aku sik. Asu men!
Depresi ada beragam bentuknya. Yang paling terlihat jelas selain kesedihan ya susahnya mengontrol amarah. Iya, aku memang pernah depresi parah tahun 2014. Dan masih tertatih hingga sekarang untuk “sekedar” membaik.
Aku menulis ini bukan untuk mencari alasan bahwa tindakan kekanakan yang kerap aku lakukan itu, BENAR. Mana ada memperturutkan nafsu amarah itu benar??? Ya salah lah!
Jangan jadi aku! Capek tahu. Marah itu bikin badan capai tak terkira. Bikin sekelilingmu sakit juga.
Saat masih sering ketemu psikolog di tahun 2014 lalu, aku selalu disuruh untuk merespon dan jangan reaktif. Merespon dengan kepala dingin. Merespon setelah kamu ambil-buang-nafas 10 kali. Merespon setelah kamu menjauh dari orang yang memicu marahmu. Merespon dengan melihat asunya orang itu lewat perspektif lain.
Merespon dengan belas-kasihmu, kata BOJOKU.
Merespon dengan compassionate atau welas asihmu tentu saja butuh level ketenangan jiwa yang tinggi. Aku sama sekali belum ke arah sana. Dan sayangnya, egoku sepertinya membentengi keinginan untuk menjadi jiwa yang kalem. Setanku masih berbisik riang bahwa jadi Nila yang pemarah adalah perlindungan diri yang terbaik. Bahwa menghukum orang yang bikin kamu marah itu adalah tindakan keren.
Ancene asu setanku iki rek. Makanya tak rasani lewat tulisan ini, toh setanku bisa baca juga.
Melarikan dan mengalihkan emosi ke hal yang positif dan membakar energi adalah alternatifku. Makanya aku milih menulis dan nggurak ayam di kebun, demi menurunkan tensi amarahku.
Gaes, meskipun aku sering berujar bahwa “SABAR MULIH NANG NDESO NYETRUM WELUT“, saat dipaksa sabar sama banyak orang, sebenarnya saat aku berujar demikian itu, “sabarku” sudah datang kok 🙂
Tentu saja setelah melewati fase mangan ndog ceplok sambel ijo dan mandi segar. Atau, setelah melewati fase pembakaran energi negatif dengan membersihkan kandang ayam. Atau, setelah melampiaskan amarah dengan nguber Kanguru dengan motor petaniku yang berujung dengan njempalik-nya aku di ladang hingga lututku babras-bundas. Kapok!
Gapapa, yang penting Sabar sudah datang dan bawa welut banyak buat aku 🙂
Busselton, 13:26pm (waktu Perth / sama kayak Bali)
Leave a Reply