Hari Minggu kemarin 13 Oktober 2019, aku, dan dua anakku mengunjungi York.

Kota mungil yang berjarak seratusan kilometer dari Perth. Meskipun tampak dekat, tapi butuh satu setengah jam-an untuk mencapainya.

Lalu apa sih yang bikin aku ngotot membawa dua bocah tengil yang sering berantem di mobil itu kesana?

Karena ada York Festival!

Awal tahu kalau ada festival ya dari facebook. Plus daya tarik ladang Canola yang menguning dipadu birunya langit, bikin aku gatal pengen motret kesana.

Sayangnya, impian tidak sesuai kenyataan. Canola sudah habis dipanen. Menyisakan alergi serbuk sari yang bikin mata pedas hingga seharian!

Jam 10an pagi, aku, Andrea (11 tahun) dan Indigo (5 tahun), berangkat ke York. Sebelumnya, kami menginap semalam di rumah ibu mertua di Perth.

Dengan panduan GoogleMaps, aku menyusuri kota-kota kecil menuju York.

Pemandangan rumah lusuh berganti kawasan pergudangan diganti ladang gandum berubah jadi hutan lindung …. menjadi pemanis perjalanan.

Sesekali, sekelompok bunga liar warna biru, pink, kuning, putih menyapa mata di antara rimbunnya pepohonan atau bahkan mereka berjajar percaya diri mendekati bahu jalan.

Sekitar jam 11.30an, kami tiba di York yang kalem, sunyi dan separuh mati suri.

Setelah berhasil mendapatkan spot parkir, anak-anak langsung kuseret cari tempat makan.

Satu, dua kafe dan resto yang kita datangi : TUTUP.

Salah satunya malah ditulis : DIJUAL.

Kamipun kembali berjalan mencari tempat makan dan akhirnya, ketemu!

Lokasinya agak tersembunyi dibalik bangunan toko tua.

Itupun ketemunya karena kita mengikuti arah suara musik Country yang mengalun elegan dari speakernya.

Yang membedakan resto ini dengan yang lainnya adalah karena ada pohon birunya.

Di Australia, pohon bercat biru adalah simbol kesehatan mental yang akhir-akhir ini jadi perhatian serius pemerintah Australia saking banyaknya warga yang depresi 😁

Negara kaya tapi kok banyak yang stres ya? Kayak yang nulis cerita ini 🤪🤪🤪

Eniwei, Andrea sempat ngambek karena kepalanya pusing. Iya, dia agak pilek. Tapi setelah makan Lasagna ukuran jumbo, senyumnya merekah lebar.

Lapar, pusing. Kenyang, jumpalitan!

Selesai makan, kami bertiga yang sama-sama tidak paham mau kemana, memutuskan untuk menyusuri York saja. Toh kotanya kecil ini. Pusat kota cuman dari ujung ke ujung. Sama sekali tidak jauh.

Puas memanjakan mata dengan memandangi bangunan-bangunan kuno yang terawat indah, kami bertiga kemudian menemukan : MAZE.

Iya, maze alias labirin. Uniknya, labirin ini semuanya terbuat dari kardus dipadu beragam bahan daur ulang lainnya seperti terpal bekas. Boks plastik buat mengangkut susu. Karton bekas dan sebagainya. Masuknya gratis 😊

Di dalam area maze dan taman bermain “daur ulang” itu, kami disapa beberapa sukarelawan muda yang ramah.

Sedangkan di dalam labirin sendiri, kita diharuskan memecahkan kode tertentu kalau mau menembus pintu keluarnya yang dijaga mbak cantik bergaya ala militer.

“Hayo, ada berapa Bilbis yang sudah kamu hitung?” tanyanya pada Andrea.

“Delapan?”

“Hahahaha salah!” Ayo hitung lagi, kalau tidak, kamu tidak bisa keluar loh!”

Andrea dan Indigo langsung balik arah dan menghitung lagi dari awal.

Aku yang tidak pernah tertarik dengan labirin, berdiri anteng di dekat pintu keluar. (alesan aja sih… aslinya aku malas memecahkan kode kekekekeke)

Ending dari labirin kardus sudah bisa aku tebak. Andrea salah hitung lagi hahahaha tapi karena mbaknya baik, dia diperbolehkan keluar.

“Kita kalah ya mas? Kalah ya mas?” tanya Indigo berulang-ulang karena tidak bisa menerima kekalahan.

Hebatnya, kedua anakku sama sekali tidak menyalahkan ibuknya yang sama sekali tidak mau membantu 😅

Lepas dari Labirin-Kardus, kita kemudian mengunjungi Court House atau gedung peradilan kuno yang masih terawat apik.

Sayangnya Indigo tidak betah lama-lama di gedung tua itu. Bolak balik berbisik pengen keluar. Mungkin karena suasananya gelap dan sepi banget!

Cuman ada satu penjaga wanita di bawah dan wajahnya sama sekali tidak ramah. Mungkin bete karena tidak ada yang menggoda 🤭

Eniwei, ruang peradilannya keren! Tempat duduk pengunjung di bagian atas di desain meninggi agar jalannya peradilan bisa terlihat jelas dari atas. Hakimnya kelihatan. Terdakwanya juga jelas terlihat.

Ada beberapa foto orang Aborigin dan orang kulit putih yang digantung di sana. Apakah mungkin mereka salah satu terpidananya? Ataukah si kulit putih adalah bekas hakimnya? Sayangnya informasi itu tidak sempat didapat gara-gara Indigo bersikeras ingin segera keluar 😓

Keluar dari Court House, kami menuju Peace Park atau Taman Perdamaian yang cuman selemparan batu dari gedung peradilan itu.

Dan sudah kuduga, taman luas itu sepi. Meskipun sedang ada festival, tapi yang datang tidak banyak. Kira-kira tidak sampai seratusan orang lah…

Di taman itu, kami disuguhi band entah namanya apa yang sedang asyik menggenjreng lagu-lagu Slow Rock yang semuanya terdengar asing di telingaku.

Bon Jovi kek… Guns N Roses kek.. Slank kek.. ini malah lagu mbuh yang sama sekali tidak bikin kita bergoyang.

Indigo juga anteng. Padahal dia ini, baru dengar satu not saja sudah langsung joget. Berarti lagu-lagu kemarin itu memang flat banget!

Untung masih ada satu atraksi yang belum pernah kita lihat. Lomba belah kayu!

Yang ini beneran profesional. Wong ada Clubnya juga. PAAWA namanya. Sekilas mirip dengan pengucapan POWER khas Australia.

Iya, orang Aussie tuh kalau ada akhiran “er” pengucapannya berubah jadi “a”.

Misalnya: Dinner dibaca “dina”. Summer, jadi “sama”.

Murmer jadi mlumah! Eh 🤭

Lanjut ke atraksi belah kayu (bukan belah duren).

Yang jadi bintang utamanya adalah Austin. Pemuda tiga belas tahunan yang jadi peserta paling kecil dan berhasil mengkapak satu batang kayu Jarrah dengan kecepatan yang wow!

Belakangan diumumkan kalau kesemua peserta adalah satu keluarga. Dari kakeknya Austin, ayahnya Austin, Pakdenya Austin dan Austin sendiri.

Woooohhhh pantesan kok niy bocah puinter banget mbelah kayunyaaaaa!

Si kakek, memperagakan cara menggergaji kayu dan membentuknya jadi kursi kecil!

Sedangkan yang lainnya, adu belah kayu posisi vertikal dan juga horisontal.

Lumayan menariklah jika dibandingkan band slow rock yang berjiwa datar itu.

Lepas dari sana, kami mengunjungi Museum Motor York.

Nah ini….. sempat bikin aku geleng kepala. Di kota kecil yang terengah untuk terus bernafas, eh kok mereka punya museum mobil sekeren ini ya????

Lihat itu! Tepat di pintu masuk, kami sudah disambut Buaya darat lengkap dengan mobil asli yang pernah dipakai Paul Hogan saat syuting film Crocodile Dundee yang bikin nama Australia naik daun itu!

Oh iya. Tiket masuk kita bertiga, totalnya cuman $12 atau 120 ribuan saja. Murahnyaaaaa 👍

Saat melihat mobil putih itu. Yang terlintas cepat di kepalaku adalah : p e l i 🤭😁

Mobil ini… buesarrrrrrr dan puanjangggggg 😳😳😳

Favoritku yang ini:

Mobilnya Gubernur 😊

Dannnnn, dari semua koleksi mobil-motor dengan segala teknologinya. Ada satu dong yang khas Asia dan dari Asia juga. Apa lagi kalau bukan :

Rickshaw alias becak 🤣

Asia kan woles Jaya. Daripada susah mikirin ruwetnya teknologi motor, kenapa tidak menggunakan mobil dengan bahan bakar sumber daya terbesar mereka saja: MANUSIA 😊

Dan setelah puas menikmati museum, kami sempat buru-buru mendatangi Town Hall. Bukan mau lihat gedungnya sih… lah Toilet Umumnya ada dibalik gedung itu…

York, dengan segala apa adanya, sudah kami kunjungi. Kota tua yang dibangun di tahun 1835 itu, saat ini seperti tengah menanti ajalnya.

Papan tulisan “DIJUAL”, terlihat dibanyak bangunan gedung, toko dan rumah.

Generasi tua, bertahan di sana. Sedangkan yang muda, mau tidak mau harus berangkat ke kota besar untuk berburu dolar. Entah mereka akan kembali ke York lagi atau tidak.

Tapi York masih ada. Meskipun festival tahunan yang mereka helat tidak seramai di kota-kota besar, setidaknya semangat mereka masih kuat.

Semoga York panjang umur.

Busselton, 14102019 pukul 23.30pm waktu Perth (sama dengan jam di Bali).