Menjadi Ibu dan Istri, buat saya adalah tugas terberat sekaligus terindah.

Terberat karena saya ini dasarnya manusia pemalas yang egois. Maunya senang sendiri.

Tapi saya tidak memungkiri bahwa menjadi Ibu adalah hadiah dari Tuhan yang paling indah dan juga sumber kekuatan terbesar saya.

Lalu, menjadi istri bagaimana???

Hemmmm, ini yang sebenarnya paling berat dan kadang saya sering berpikir, indahnya di mana sih?

Iya, saya ini sebenarnya wanita yang tidak terlalu patut untuk dinikahi karena saya mengakui kerasnya ego dan hati saya.

Dipacari saja sebenarnya, jangan dinikahi.

Tapi Kurt bukan lelaki biasa. Karena cuman dia yang bisa meruntuhkan segala kecemasan saya memanggul predikat ibu sekaligus istri.

JALAN PANJANG PENYERAHAN DIRI

Sejak menikah September 2011 hingga setahunan yang lalu, saya masih berkeras untuk tetap bekerja di luar rumah.

Berbagai rengekan hingga paksaan agar saya bekerja dan mengabdikan diri secara penuh untuk keluarga, saya tentang keras.

“Males aku kerja sama kamu lagi! Sudah pernah kan dulu? Jadi asistenmu waktu kamu masih jadi dokter hewan? Lupa apa endingnya gimana? Lupa gimana kita berantem setiap hari?”

“Iya, tapi aku butuh kamu! Anak-anak butuh ibu mereka. Terutama Indigo, dia harus sering-sering dibacakan buku, seperti waktu kamu dulu bacain Andrea banyak buku setiap hari. Tempat kamu ini di sini, bersama kita!”

“BUT I’M NOT HAPPY!”

Dan dia pun terdiam, lama.

Dan bertahun-tahun sejak karir suami sebagai dokter hewan terhenti tiba-tiba di akhir 2014, saya pun sibuk kerja di luaran. Jadi tukang bersih-bersih, hingga kemudian keterima kerja di Aldi Supermarket (Baca: Tim Kesayangan).

Tapi Kurt selalu punya cara untuk meluluhkan hati istrinya, yang entah kenapa, dicintanya sampai mati.

Sekitar awal 2018, Indigo ada jadwal ketemu bidan anak. Pengecekan rutin saja sih. Sebagai agenda wajib semua anak sebelum divaksin. Seperti biasa, Indigo di cek kesehatan fisiknya. Tapi ada satu hal yang bikin si bidan anak khawatir: Indigo telat bicara.

“Indigo tidak ada masalah dengan kecerdasannya. Dia cukup pintar, tapi bicaranya agak susah dipahami. Oleh karena itu, saya rekomendasikan Indigo untuk selanjutnya diperiksa oleh Speech Therapist (terapi wicara) dan Occupational Therapy (OT).”

Tak lama, setelah beberapa episode pertemuan dengan terapi wicara dan OT, vonis pun dijatuhkan : Indigo terdiagnosa Speech Delay atau telat bicara dan tidak menutup kemungkinan ada Disleksia juga.

Saya lemas tak terhingga.

Saya sadar bahwa garis keluarga Kurt memang banyak yang disleksia. Bahkan Kurt sendiri punya beberapa “gangguan” seperti ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), PTSD (post traumatic stress disorder) dan Disleksia.

“Itu artinya, kamu memang disuruh Tuhan untuk sering-sering di rumah,” bujuk Kurt.

Tapi saya masih belum juga menyerah.

Sehari-hari, saya masih sibuk kerja dan menerima banyak lemburan dari Aldi Supermarket. Dan kalaupun di rumah, saya banyak istirahatnya karena energi saya terkuras di tempat kerja.

“Kamu terlalu fokus di Aldi. Energi dan perhatianmu, tercurahkan di sana semua. Sedangkan mereka bukan keluargamu! Waktu kamu di rumah, kamu tidak mau diganggu. Uring-uringan terus. Mau sampai kapan seperti ini?”

Dan, saya masih juga keras kepala.

Bulan Juni 2019, Tuhan memberikan peringatan keras atas kebebalan dan kesombongan saya.

Saya diberikan keletihan fisik dan mental cukup parah.

Saya kembali berada di titik kerapuhan mental yang dulu pernah saya alami di akhir 2014, setelah kehilangan bayi dan suami kehilangan pekerjaan.

“Aku berada di ujung nerves-breakdown. Makanya aku mau resign saja. Aku tidak sanggup lagi kerja seperti ini. Fisikku remuk dan mentalku hancur,” kata saya pada Area Manager sambil menangis.

Tak dinyana, si Bos besar itu menolak surat pengunduran diri saya.

“Nila, kamu membangun Aldi Busselton dari nol. Jasamu pada supermarket ini sudah terlampau banyak. Sekarang sudah waktunya bagi Aldi untuk membahagiakan kamu. Kamu minta apa? Sebisa mungkin aku turuti, asalkan jangan mundur,” kata si bos dengan mata berkaca-kaca.

Saya melongo.

“Aku minta turun gaji. Tidak lagi kerja lembur. Kalau bisa kerja tiga-empat kali seminggu saja.”

Deal!” tuturnya cepat sambil tersenyum puas. Dan surat pengunduran itupun saya sobek di depan mata si Bos.

Sejak itu, gaji saya melorot drastis. Jam kerja surut cepat. Tapi saya kemudian menemukan KEBAHAGIAAN yang selama ini saya cari di tempat yang salah.

Anak-anak bisa lebih sering bersama saya.

Rumah jadi lebih ceria karena banyak tawa bahagia anak dan juga suami.


Memang, duit gaji saya melorot, tapi status saya meninggi dimata Tuhan dan juga Suami.

Belakangan, baru saya ketahui bahwa Kurt awalnya tak henti berdoa meminta pertolongan Tuhan agar istrinya dibelokkan ke arah yang benar.

Tuhan sepertinya suka rengekan Kurt. Jadi dibiarkan agak lama dia merengek sebelum akhirnya Tuhan mengamini permintaannya dengan melorotkan posisi saya dari kepalsuan-kebahagiaan di tempat kerja dan menggantinya dengan kebahagiaan sebenarnya… di rumah.

*Uang selalu bisa dicari, kalau kalian tidak malas. Tapi kebahagiaan hati, letaknya selalu tidak jauh dari nurani.

Vila Edenia 31, Jalan Melasti, Ungasan, Bali 09082019 Jam 10.41 Waktu Bali.