Usia saya belum genap 24 saat jadi wartawan ingusan. Waktu iku pegang dua halaman: metropolis dan internasional.
Saat berita-berita internasional sudah selesai saya setorkan, tiba-tiba ada permintaan ini:
“Awakmu melu yoh? Onok gerebekan pelacur jalanan. Arek-arek maringene budal…. Awakmu melu tapi nyamar yoh. Dadi mbak-mbak pisan.”
Hah????? Nggawe sepatu kets ngene mas? Klambian kaos ngene?
Singkat cerita, saya ikut serta.
Saya lupa detilnya tapi yang pasti saya turun dekat TP dan jalan kaki diikuti kawan-kawan reporter. Atribut jurnalis saya dilucuti. Tas ransel Alpina. Keplek ID card dan HP, dibawa kawan saya.
Saya berdiri termangu sambil melotot di dekat TP dua. Suasana hiruk pikuk. Jeritan mbak-mbak disana sini.
Waktu itu sekitar jam 12.30an dini hari, kalau tidak salah.
Masih dalam keadaan bingung, tiba-tiba bahu saya dipukul keras.
“Auuuuuu” teriak saya kencang kesakitan.
Saya menoleh, ada sosok petugas Satpol PP tengah menyeringai di depan saya.
“Pak.. pak, mbak iki wartawan!” Kata kawan saya yang tiba-tiba datang berlari sambil memperlihatkan ID card sakti saya.
Petugas itu segera memucat wajahnya.
Saya melotot marah sambil berujar, “gak usah kasar ngono Pak! Tak tulis koen engkuk!”
Si petugas minta maaf berkali-kali sebelum kemudian menghilang dari pandangan marah saya.
Suasana masih ramai dan kacau. Saya berjalan menyusuri trotoar dan jadi saksi mata melihat mbak-mbak diseret sana sini seperti hewan liar.
Ada yang bersembunyi dibalik gardu listrik dengan BH yang terlepas dan buah dadanya bebas jumpalitan sana sini.
Mereka semua dikasari.
Mereka menangis dan marah.
Saya menahan dada yang menyesak.
Marah, sedih dan marah lagi.
Kenapa harus kasar seperti itu sih?
Kenapa mereka dihalau seperti hewan liar?
Mereka itu manusia loh!
Wanita!
Tak lama, beberapa truk besi Satpol PP berdatangan. Saya ikut naik kesana. Beberapa kawan wartawan juga naik. Tapi kita pura-pura tidak saling kenal.
Saya duduk berjejalan dengan banyak wanita. Mereka semuanya pilu. Tidak sedikit yang menangis histeris.
Truk mulai meronta dan berjalan dengan kecepatan sedang. Saya melihat ada rombongan pria bersepeda motor yang mengikuti truk yang saya tumpangi.
Belakangan saya dikasih tahu kalau para pria itu utusan mucikari yang bertugas mengikuti kemana si mbak-mbak itu pergi.
Saya menunduk menutupi wajah dengan tangan saat kawan jurnalis mulai memotret. Meskipun kemudian ada saya yang sedang menunduk dimuat di koran, keesokan harinya. Untung saya menunduknya serius. Jadi blas ga ada yang tahu.
“Mas, tulungono aku mas… anakku meneh ujian. Aku durung entuk duittttt…. tulung maaaassssss…”
Seorang ibu yang duduk di lantai di tengah Truk, meraung histeris tak henti.
Hati saya tersayat.
Saya mulai mengedarkan pandangan. Banyak yang belia. Ada yang kurus. Ada yang sintal. Ada yang tambun.
Kemudian mata saya tertumbuk pada sesosok berbaju putih nan keren. Dia beda sekali. Cantik, putih tapi berpenis.
Di pojokan Truk, saya melihat gadis belia tuna wicara. Kalau bicara ah uh saja. Saya kembali disayat.
Belakangan kawan saya ngasih tahu kalau si bisu itu pelacur lawas. Saya tersayat semakin dalam.
“Heh, arek anyar yoh? Melu sopo?”
Waduh!
Mbak yang duduk tak jauh dari saya menatap tajam dan menunggu jawaban.
Saya tidak menjawab hanya mengangguk dan kembali menunduk.
Untungnya saya diselamatkan Supir yang ternyata sudah sampai ke tujuan: Kantor Satpol PP.
Saya lupa tepatnya di bagian surabaya mana. Dan pastinya saya disorientasi kalau disuruh kesana lagi.
Lah wong di dalam truk dan banyak menunduknya!
Semua mbak dan beberapa mas-tapi-mbak, turun dan dibariskan oleh petugas Satpol PP.
Disaat itulah saya menyingkir dan berdiri bersama para jurnalis. Beberapa pandangan mata mbak-mbak yang tadi duduk bersama di dalam truk, menusuk tajam jiwa saya.
Saya dipukul sedih.
Tiba-tiba badan saya terasa lelah. Padahal saya tidak ikutan dikejar-kejar.
Tiba-tiba saya mual juga.
Mereka semua kemudian di tes darah. Mengecek adanya virus mematikan HIV AIDS ataukah tidak.
Sambil menatap termangu, kami, para jurnalis didatangi oleh seorang Polisi yang sepertinya punya kedudukan.
Dia berpidato sebentar sebelum akhirnya kami semua, pulang.
Saya langsung pulang karena malam itu bukan bagian saya menulis berita. Saya cuman nyamar dan hasil cerita sudah saya tumpahkan semua ke jurnalis senior. Termasuk kekesalan saya masalah penanganan mbak-mbak yang kasar. Yang sama sekali tidak beradab.
Keesokan harinya, berita kekesalan saya tidak ditulis. Hanya basa basi kesuksesan operasi malam lengkap dengan foto deretan mbak-mbak tuna susila bersama saya juga (menunduk).
Hati saya semakin kecil.
——————————————————-
Malam ini saya susah tidur gara-gara kepikiran masalah ini dan ditambah lagi dengan suami yang tiba-tiba ngelindur dengan suara keras:
Enak kan beib? Enak banget ini? Kamu ngerasa enak gak?
Saya tidak merespon karena sedang fokus memilah foto untuk dikirimkan ke kawan baik.
Saya saat itu sedang duduk di ruang TV. Dan suami ngelindur keras di kamar.
Beib…xyz xyz xyz xyz… Beib???”
Suami masih ngelindur. Eh kok nama saya dipanggil-panggil sih?
“Kamu tuh ngelindur!”
Saya kemudian masuk kamar. Ngusek-ngusek kepalanya dan menempelkan kaki saya ke kakinya.
Kebiasaan suami, kalau kaki saya ndak nempel, pasti dia tidurnya ga jelas. Ngelindur dan yang pasti tidak tenang meremnya.
“Kamu mimpi kelonan sama siapa?” goda saya.
Suami ndak njawab. Entah pura-pura tidur apa tidur beneran.
Ah saya sih tidak ambil pusing. Mau kelonan sama yang lain juga bodo amat. Cuman mimpi ini loh!
——————————————————
Bercinta, kelonan, ngentu, make love atau apapun namanya sudah pasti disuka.
Bahkan jadi pemersatu umat yang beda nafsu politik.
Masalahnya, kalian mikir gak sih kalau mbak-mbak yang mau kalian booking dan kalian lihat link-nya itu juga manusia?
Bukan plembungan plastik.
Bukan robot berkaret kenyal di situnya.
Mereka punya hati dan bahkan bisa marah dan terhina kalau kalian berteriak: dasar lonte!
Iya, mereka melacurkan kehormatan tertinggi manusia. Tapi demi kepuasan kalian juga kan?
Seperti kata presiden saya dari Republik Jancukers, semua manusia pada dasarnya pelacur tapi dalam level, sistem dan gaya yang berbeda-beda.
Ada pelacur ego, seperti saya misalnya.
Ada pelacur materi, seperti para koruptor.
Ada pelacur intelektual, seperti para politikus.
Dan banyak lagi.
Yang salah siapa?
Ada penjual dan pembeli. Penjual ada karena yang beli ingin beli yang dijual.
Mata rantai yang susah putusnya.
Ada banyak manusia yang mencoba mengentaskan si mbak-mbak dengan diajari nyalon, masak, njahit dan sebagainya.
Yang serius ingin berubah ya bisa.
Yang serius ingin kerja begituan terus ya banyak.
Semua diserahkan pada kita kamu mereka dan kalian.
Sudah ndak usah dibully.
Toh kalian menikmatinya ini.
Saya juga. Wong saya juga sering minta bagian link sama temen.
Yang pasti.
Saat bertemu muka. Jangan pasang wajah jijik. Malah kalian yang sok suci itu yang menjijikkan.
Pasang wajah biasa saja.
Kalau tidak sanggup melihat, lihat lampu!
Saya sebisa mungkin memandang mereka sebagai sahabat terdekat.
Saya memasang bahasa tubuh bahwa saya bukan ancaman bagi mereka.
Saya kawan, mbak, adik, ibu dan bisa jadi sahabat mereka, kalau mereka mau.
Busselton, 23:51 waktu Perth.
January 21, 2019 at 4:35 pm
Bikini Aku mbrebes mili
LikeLike