Sekitaran Juni 2012, saya migrasi permanen ke Australia.
Banyak kawan di Indonesia yang berdecak kagum. Padahal saya sendiri tidak merasa istimewa sama sekali. Semuanya masih sama. Kerja kerasnya sama dan perjuangan hidupnya juga sama.
Sesekali saya pun mudik. Banyak kawan yang tertegun.
“Kok gak berubah sih?”
“Masih medok aja kamu!”
“Anak sudah dua, mau sampai kapan rambutnya pendek terus?”
Saya seperti biasa, tertawa lebar.
“Itu hidayah saya. Menjadi diri sendiri.”
Hidayah itu bermacam-macam.
Ada yang merasa dikasih hadiah Tuhan berdasarkan kemewahan duniawi yang dimilikinya. Ada yang merasa istimewa karena dilahirkan dengan fisik aduhai. Ada yang merasa superior karena keenceran otaknya. Ada yang menengadah karena merasa keyakinan yang dikenakannya akan mengantarnya ke surga impian. Macam-macam lah pokoknya.
Saya?
Wah, saya sudah dikasih hidayah sejak saya dilahirkan dan itu akan menempel terus sampai saya mati nanti.
Nama saya Nila Nurul Hidayati. Nila yang diberi cahaya hidayah, begitu angan-angan kakek saya saat memberi nama cucu pertamanya.
“Kamu mau kemana pakai baju kayak gitu? Nanti kalau digodai gimana?” tanya kakek saat saya mengunjunginya hanya dengan bercelana pendek dan kaus kutung.
“Ya tak tabok wonge Mbah,” jawab saya santai. Kakek saya tertawa sambil kepala saya di usek-usek dengan jemarinya.
“Jangan lupa pakai BH kalau keluar. Ini bukan Australia. Orang sini gak biasa liat pentil!” sergah suami saya, saat saya bersiap keluar dari resor di Pacitan ini.
Itu salah satu hidayah saya. Saya yang pemalas dan jarang memikirkan penampilan tapi kemudian dikasih hadiah Tuhan dengan suami yang cekatan.
Saya kerap mempertanyakan banyak hal. Kerap juga merenungkan beragam permasalahan. Makanya jangan heran kalau melihat saya dikejauhan, sendirian dengan bibir yang komat kamit. Saya sedang menuliskan isi hati saya lewat bibir kemudian didengar telinga saya sendiri. Sayangnya, otak saya jarang merekam. Cuek saja. Hingga tulisan batin itu kececeran dimana-mana.
Kadang dimobil. Di WC. Dikamar. Bahkan saat sedang berada di atas suami.
Hidayah saya juga itu. Saya kerap merenungkan pertanyaan saya sendiri. Takon dewe, dijawab dewe. Sempel ancene!
“Kenapa wanita selalu dilemahkan? Apakah wanita diciptakan hanya untuk menyenangkan laki-laki? Kenapa agama malah bikin banyak manusia bertikai? Tuhan agamanya apa? Kenapa manusia semakin relijius semakin tidak masuk akal? Kenapa sosmed bikin manusia jadi anti sosial? Tik Tok itu apa? Kenapa banyak manusia semangat selfie tapi semangat juga nyampah sembarangannya? Kenapa? Apa penyebabnya?
Banyak sekali pertanyaan dikepala saya. Makanya saya suka sendirian. Melamun, komat kamit sendiri lalu ketiduran dan lupa akan jawaban yang sudah saya temukan tadi.
Hidayah saya: kritis tapi kurang aksi.
Di liburan kali ini, saya dan suami semakin mendekat. Kita berdua berdiskusi banyak hal. Mulai dari kegalauan suami masalah “littering” alias nyampah sembarangan sampai saya yang sesak nafas melihat perkembangan kaum hedon di Indonesia.
“Lah iyo, mall-mall yang di Surabaya tambah banyak. Tapi tidak semua toko ramai pembeli. Yang punya toko apa ndak rugi ya? Sewanya kan mahal itu?” tanya saya berusaha mereka-reka business plan si pemilik toko.
“Indonesia itu indah sekali. Mungkin paling indah di dunia, kalau masyarakatnya tidak nyampah sembarangan!” jawab Kurt pada pertanyaan saya masalah mall di surabaya tadi.
Lah, gak nyambung blas!
Tapi itulah hidayah saya. Dikasih suami yang tidak gila kemegahan dan pecinta lingkungan. Saya juga bersyukur luar biasa dikasih hidayah sebagai wanita yang awet ndesitnya yang tidak begitu perduli pada cahaya menyilaukan dikota besar.
“Semoga kamu nanti dapat hidayah,” kata banyak kawan yang melihat saya masih saja awet tanpa kerudung.
Jangan salah! Sebelum tren menutup diri dan memperlihatkan identitas relijiusitas semakin menyeruak, saya sudah berkerudung duluan!
Tahun 2008 saya pernah berjilbab. Bukan yang jilboob loh yah. Berjilbab beneran. Pakai rok dan jilbab panjang. Tapi cuman awet tiga bulanan saja.
Kok dilepas?
“Sumuk!” jawab saya pada banyak kawan.
Saya dinyinyirin? Dijadikan bahan rasan-rasan? Dijelek-jelekkan karena lepas jilbab? Halaaaaaaaahhhhh… masalah kecil ituuuu.
Kok cuman masalah lepas jilbab. Digosipkan jadi perek, wanita murahan dan bisa disewa, sudah disematkan pada saya sejak saya SMA.
Duh, beneran kamu dulu begitu?
Raimu, aku pas SMA sik perawan Su!
Lagian, apa sih urusannya? Bukankah masalah reliji itu pribadi masing-masing? Yang penting kan saya baik, tidak sombong, gemar menabung dan buang sampah pada tempatnya. Dan masih hafal sila-sila pancasila juga.
Kenapa masalah agama ini bikin saya semakin tidak nyaman saat mudik di Indonesia? Kenapa kalian tidak bisa meredam kepo kalian dengan bertanya Cak Kurt agamanya apa? Sudah sunat belum? Bisa sholat? Ikut puasa tha?
Apa sih!
Kenapa urusan yang hanya Tuhan yang tahu kalian ingin tahu juga? Apakah level kebaikan seseorang itu dinilai dari pakaian keyakinannya? Dari ujung pelinya sudah dipotong atau belum?
Duh, geregetan saya kalau sudah disangkutkan pada masalah agama. Kalau saya mulai mengoceh “belajarmu kurang jauh”, “pemahamanmu kurang dalam” nanti akhirnya jadi ajang debat kusir. Malas saya! Wong saya ini tipe tukang becak bukan kusir kuda!
Mendingan saya diam dan menjauh. Tak apalah mereka berpikiran yang aneh-aneh. Bebas. Tidak ada yang bisa membatasi cara berpikir manusia. Saya biarkan saja.
Saya waras dan paham betul menjadi manusia yang berketuhanan itu bagaimana. Itu juga hidayah saya. Memahami konsep beragama dan berketuhanan dengan simpel dan tidak terpaku pada (pamer) ritual belaka.
“Agama saya kemanusiaan”, jawab saya pada akhirnya. Mengakhiri perdebatan.
Tulisan ini muncul setelah saya mengkombinasikan tiga buku sekaligus:
Cerita Calon Arang, karya Pramoedya Ananta Toer.
Markesot Bertutur, tulisan Emha Ainun Nadjib.
Islam, Arab dan Indonesia (Kuliah virtual Facebook), tulisan Sumanto Al Qurtuby.
Tidak ada kesengajaan dalam memilih ketiga buku itu. Wong saya ambil buku-buku itu secara acak dari dalam tas body board suami. Saya pesan buku itu sudah lama sekali dan dikirimkan ke alamat kontrakan ibu saya di Gresik. Baru pas liburan ini saya bisa mengambilnya. Ada banyak buku lain yang saya sumpalkan ke dalam tas body board suami saya. Tapi baru tiga ini yang terbaca.
Saya orangnya gampang gundah dan suka mengamat-amati keadaan dan persoalan disekitar. Suka mengamati manusia juga.
“Sebenarnya hidup itu mudah loh. Yang bikin rumit kan manusianya sendiri. Kenapa sih tidak jujur saja. Simpel kan? Tidak perlu mikir taktik untuk ini itu, tidak mikir gengsi, tidak mikir mau pakai topeng yang mana. Jujur saja. Lah kalau jujur pada diri sendiri saja tidak bisa, bagaimana menjalani kehidupan bermasyarakat? Pakai topeng terus? Pakai taktik terus? Tidak kecapekan apa?”
Saya ingat betul mantan bos saya yang orang Perancis itu pernah bilang, “Cari orang pintar di Indonesia itu mudah sekali. Tapi cari orang yang jujur itu loh yang susah!”
Kejujuran yang saya maksudkan disini artiannya luas. Jujur di banyak hal. Misalnya, ada orang yang khusyuk sekali mempertontonkan reliji dan ritualnya. Semua orang memuji dan memujanya sebagai orang baik. Hingga pada suatu ketika, orang yang disangka separuh malaikat ini ketahuan korupsi. Nah!
Ada juga yang tekun beribadah. Segala ritual keagamaan dilakoninya dengan khusyuk. Sayup-sayup saya mendengar doanya, “Ya Tuhan, beri hamba pertolongan agar hamba bisa lolos jadi pimpinan dan beri hamba jalan agar hamba bisa mengembalikan biaya menuju jalan itu…”
Seriously?
Kamu mengajak Tuhan korupsi? Kamu menggalah langit, berusaha mendapat pertolongan agar gairah berkuasamu di “iyakan”?
Hemmmm….
Sak karepmu Le…
Aku tak lanjut merenung saja.
Kawan saya terbelalak saat tahu bahwa saya minta turun jabatan. Dari posisi Trainee Store Manager menjadi Store Assistant biasa (Baca kisah sebelumnya di Tim Kesayangan).
“Haduh sayang bangetttt. Padahal tinggal sedikit lagi kamu bisa jadi manager!”
Engggg, itu juga hidayah saya lainnya. Saya kok tidak dikasih perasaan malu saat harus turun jabatan. Kawan yang dulunya saya kasih instruksi, akhirnya saya juga yang menerima instruksinya karena dia naik jabatan, menggantikan posisi saya. Saya kok biasa-biasa saja. Malahan si manager ini sering saya cubitin karena tidak menjalankan kepemimpinannya dengan baik.
Karakter bisa dibentuk dari pengalaman hidup. Saya dulu tidak seperti ini. Pernah mengalami post power syndrome saat kali pertama menginjak Perth. Dari seorang Asisten Presdir, saya melorot jadi ibu rumah tangga biasa yang harus pegang sapu dan sutil. Saya depresi bertahun-tahun. Karena setan gengsi yang mengendalikan jiwa saya.
Sekali lagi saya diselamatkan Hidayah, si Hidayati. Kurt dengan telaten membunuhi setan gengsi itu. Hingga saya bisa menjadi seperti ini.
Hidayah ada bermacam-macam dan datangnya tidak bilang-bilang.
Seperti saat ini. Saya nulis saja. Meskipun tulisan ini maknanya jelas tidak ada hehehehe
Wes ah aku tak nerusno moco meneh.
*Pacitan 29 Juni 2018 Pukul 12:11 dini hari (haduh wes bengi rek!)
June 28, 2018 at 4:57 pm
Aku nyimak sampai akhir Nil…
Tulisan mu ngalir dan apa adanya…
I like it..boso jowo ne opo yo? 😊
LikeLike
June 28, 2018 at 4:57 pm
Ndelosor hahahhaha
LikeLike
June 28, 2018 at 5:18 pm
Ndelosor iku bukan ne jatuh?
LikeLike
June 28, 2018 at 5:37 pm
Jatuh secara mengalir hahhaha nggelundung
LikeLike
June 29, 2018 at 2:00 am
Ha..ha..ha…👌👍
LikeLike
June 30, 2018 at 7:44 pm
Iya… Aku ya heran Nil.. sekarang orang kok serius kali beragama ya.. seolah-olah Tuhan itu ga bisa di ajak ngguyu..
LikeLike