Setelah bertahun-tahun lamaran kerja saya ditolak sana sini, akhirnya kesempatan kerja itu datang juga.

Siang itu, saya baru saja menyelesaikan shift kerja pagi jadi cleaner (housekeeping alias tukang bersih-bersih) di salah satu resort di Dunsborough, Australia Barat.

Belum sampai satu menit mendaratkan pantat di jok kursi mobil, tiba-tiba HP saya berdering.

“Halo Nila apa kabar? Saya Mark dari Aldi, ingin mengabarkan berita bagus. Kamu diterima sebagai Trainee Store Manager di Aldi dan siap kerja minggu depan…”

Saya terdiam beberapa detik.

“Wah senang sekali. Tapi eh, Trainee Store Manager yah? Perasaan waktu wawacara, saya akan dikasih jabatan Store Assistant loh. Ini beneran jadi Trainee Store Manager?”

“Oh iya benar! Kamu kandidat paling bagus diantara para pelamar. Makanya kamu layak di posisi itu.”

Saya gembira bukan main. Tapi ada keraguan di hati saya.

Apa saya bisa? Apa saya mampu jadi manager?

Lah wong saya ini sama sekali tidak ada pengalaman ritel, lah kok malah dikasih jabatan Manager (training)?

Jujur, saya ketakutan sendiri meskipun bangga luar biasa juga.


Awalnya, saya melamar kerja di Aldi supermarket secara online. Pertanyannya berlapis. Mungkin ada sekitar tujuh sampai delapan tahapan yang harus saya isi.

Kemudian saya mendapat panggilan wawancara berkelompok (group interview).

Saya sempat bingung, group interview itu apa sih? Apa nantinya saya akan di wawancarai oleh beberapa orang seperti waktu ujian skripsi dulu?

Hati saya berdebar, gugup.

Jadwal wawancara jam dua-an siang.

Saat hari-H wawancara, saya masih ada kerja cleaning pagi sampai jam 12-an di Dunsborough. Karena terburu-buru dan sibuk dengan urusan domestik, saya lupa untuk melakukan riset tentang Aldi Supermarket. Saya lupa bikin catatan tentang Aldi itu apa, websitenya seperti apa, bisnisnya seperti apa. Saya benar-benar lupa melakukan riset penting itu!

Di hari itu juga saya yakin akan gagal di wawancara pertama karena “persenjataan” saya tentang Aldi benar-benar NOL.

Ada sekitar delapan hingga sepuluh orang yang duduk di meja melingkar di hadapan dua Area Manager Aldi. Saya satu-satunya orang Asia disana. Dan dibandingkan dengan kandidat yang lain, saya satu-satunya yang belum ada pengalaman ritel dan belum ada pengalaman kerja “serius” di tempat lain selain mengurusi bisnis keluarga dan jadi kasual cleaner.

Saat si pewawancara melontarkan pertanyaan sekitar Aldi dan bisnisnya, semuanya angkat tangan, siap menjawab.

Saya hanya nyengir kuda.

Saya sama sekali buta tentang Aldi Supermarket. Jadi buat apa sok tahu. Mendingan diam saja dan terus-terusan tersenyum menutupi kebodohan diri sendiri.

Hingga akhirnya, saya mendapat giliran memperkenalkan diri setelah semuanya sudah menceritakan kehebatannya masing-masing.

“Nama saya Nila dan di Australia sering dipanggil Naila. Saya menjadi penduduk tetap sejak pertengahan 2012. Saat itu saya sibuk membantu bisnis suami yang kebetulan dia itu Dokter Hewan. Setelah itu, suami berganti profesi menjadi tukang kayu, tukang reparasi pintu jendela dan tukang retikulasi. Saya kembali menjadi asisten dan bagian administrasinya. Saat di Indonesia, sebelum saya migrasi ke Australia Barat, Saya bekerja sebagai Personal Asisten Presiden Direktur di perusahaan Belgia. Saat ini saya sibuk jualan kayu bakar dan bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Saya bisa bekerja di segala lini. Mau bagian admin ataupun pekerjaan fisik, saya bisa lakukan semua. Kayu bakar yang saya jual saat ini, paling ringan beratnya 800an kilogram dan paling berat sekitar 1200an kilogram. Semuanya saya yang angkat dan turunkan sendiri ke tempat klien. Sehari, saya bisa jualan dua hingga tiga kali angkutan. Biar kurus begini, saya kuat loh,” kata saya sambil memamerkan otot lengan, yang di iringi gelak tawa kandidat lainnya. Si area manager juga tertawa geli.

Entah kenapa, mood membadut saya tiba-tiba muncul di saat saya harus tampil formal. Ah sudahlah. Toh nantinya saya akan gagal ini, batin saya.

Singkat cerita, sepulangnya dari wawancara grup yang saya yakin tidak akan lolos itu, tak dinyana saya mendapatkan telepon lagi sekitar jam lima-an sore.

“Halo Nila. Kamu lolos wawancara pertama dan kalau bisa, besok siang ketemu saya lagi untuk wawancara terakhir yah?” kata Andrew, si Area Manager di ujung telepon.

Saya girang bukan kepalang.

Menjelang wawancara kedua, saya tentu saja lebih siap. Hingga larut malam saya sibuk riset tentang Aldi. Tentang bisnisnya. Tentang kultur kerjanya. Semuanya saya pelototi.

Sayangnya, sekali lagi saya tidak siap bodi dan diri.

Harusnya saya pulang dulu dari kerja jadi cleaner, biar ada waktu untuk mandi, bersolek sedikit dan menuju ke lokasi wawancara dengan badan bersih wangi dan pikiran cerah.

Tapi apa yang saya lakukan malah kebalikannya. Usai bekerja jadi cleaner, saya malah membelokkan mobil ke pom bensin untuk beli makanan siang. Saya lapar! Sembari makan, saya sibuk menelponi klien kayu bakar yang banyak meninggalkan pesan di HP dan menjadwalkan kapan saya bisa mengirim kayu ke mereka. Saya tidak terpikir untuk mandi dan bersolek.

Jadwal wawancara tinggal tiga puluh menitan lagi. Saya tidak ada waktu untuk pulang dan mandi!

Untungnya saya sudah bawa baju dan sepatu untuk wawancara.

Usai ngebut sopan (di Australia mana bisa ngebut sih??) dan ngepot sedikit, mobil saya parkir di Abbey Beach Hotel, tempat dimana lokasi wawancara kedua itu dilangsungkan.

Awalnya saya parkir ditengah yang sepi dan siap-siap ganti baju disana. Eh kok ada mobil yang parkir sebelahan sama saya. Akhirnya saya cari parkiran yang agak jauh.

Saya cuek saja buka baju dan buka semuanya di dalam mobil yang kacanya bening. Sebening urat malu saya.

Srat sret srat sret, baju terusan tanpa lengan (model vintage dress) sudah menggantikan kaos dan legging yang awalnya saya pakai saat kerja jadi cleaner.

Rambut saya sisir dengan tangan, karena memang saya tidak pernah punya sisir di dalam tas. Sisir saya cuma ada satu, dan itupun selalu di kamar mandi.

Wajah saya kasih bedak tipis dan pakai lipstik warna merah muda.

Badan saya semprot parfum banyak-banyak.

Saya sempat celingukan dan berdoa semoga tidak ada kamera CCTV di area parkiran itu. Dan kalaupun ada, yah rejeki mereka bisa lihat saya setengah bugil!

Wawancara kedua berlangsung mulus. Saya banyak ditanya mengenai manajemen. Masalah penanganan pekerja. Masalah komitmen kerja dan sebagainya.

Karena saya sudah melakukan banyak riset tentang Aldi, saya tidak lagi membadut untuk menutupi kegoblokan saya seperti waktu wawancara pertama itu.


Saya lolos wawancara kedua dan dua hari kemudian langsung dijadwalkan untuk tes kesehatan di Bunbury.

Saya di tes urin, tes tekanan darah, jantung, pernapasan, kuping, buta warna apa tidak hingga tes keseimbangan badan.

Saya disuruh jongkok berdiri sambil membawa beban 15 kilo dan dilihat berapa cepat saya bisa melakukan itu.

Saya di suruh berjalan dengan tumit. Di suruh berdiri dengan jari-jari kaki. Di suruh bungkuk dan menyentuh jari kaki. Di suruh memiringkan badan ke depan, samping dan ke belakang.

Di sini saya mulai curiga. Pekerjaan saya nantinya seperti apa sih kok sampai sebegitu rumitnya saya di tes secara fisik???


“Oh kamu TSM (trainee store manager) ya? Dulunya pernah kerja di ritel mana?” tanya beberapa senior saya di Aldi Bunbury.

Saat saya kasih tahu kalau saya NOL pengalaman di ritel dan sebelumnya hanya sibuk dengan perusahaan keluarga, semua senior saya itu pada mengernyitkan dahi, tanda tidak percaya. Kok bisa saya terpilih jadi TSM dengan pengalaman minus?

Lah kok mereka, saya sendiri saja bingung kok!

“Karena kamu orangnya dewasa dan mampu mengayomi anak buah dan sepertinya kamu kuat menghadapi stres,” tutur Kim, manager Aldi di Busselton.

Kelak, mereka semua akan tahu kalau saya tidaklah SEKUAT yang mereka bayangkan. Kelak mereka akan tahu, kalau saya akhirnya MENYERAH.


Awalnya saya di training di Aldi Bunbury yang letaknya sekitar 40 menitan dari rumah saya di Busselton.

Hampir dua mingguan saya training disana. Dan seringnya kebagian shift pagi, dimana saya harus sudah hadir pukul 6 pagi. Untuk itu, saya harus bangun jam 4 subuh dan siap berangkat dari rumah jam 5 subuh.

Pernah juga saya berangkat kerja dengan suhu udara 2 derajat!

Dan seringkali harus menyupir perlahan karena banyaknya kanguru yang bengong di pinggir jalan dan kapan melompatnya ke tengah jalan, hanya TUHAN yang tahu!

Sebagai Trainee Store Manager (TSM), saya dikontrak untuk kerja 40 jam/minggu. Lima hari kerja dan dua hari libur. Di Aldi, gajiannya tiap dua mingguan sekali. Jadi total kontrak jam kerja ya 80 jam/dua minggu. Upah perjam $25.50 dan setahun gaji kotor TSM sekitar $53k (belum dipotong pajak).

Sebagai TSM, saya melakukan pekerjaan layaknya asisten toko (store assistant) lainnya juga. Saya kerja mengisi stok barang di semua rak (sayuran, buah, daging hingga barang-barang kering lainnya), angkat-angkat barang di gudang, membersihkan sampah, menjadi kasir hingga mengumpulkan keranjang dorong (trolley) yang kadang berserakan di parkiran mobil.

Lalu apa bedanya dengan asisten toko, dong?

Untuk masalah pekerjaan fisik, memang tidak ada bedanya. Sama-sama capeknya juga. Bedanya dengan asisten toko, seorang TSM pikulan tanggung jawabnya lebih besar. Seorang TSM-lah yang mengatur jadwal kerja asisten toko. TSM punya akses ke brankas dan keuangan toko. TSM wajib mengecek alarm dan siap waktu dipanggil jam berapa saja, jikalau alarm toko menjerit. TSM wajib datang untuk menggantikan asisten toko, jika ada di antara mereka mendadak sakit. TSM siap bekerja dari pagi subuh hingga menjelang malam.

Dua mingguan training, saya sempat bingung karena jam kerja saya tidak sampai 40 jam/minggu.

“Kok aku kerjanya cuma 25 jam saja? Bayaranku nanti berkurang dong? Berarti aku hutang banyak jam kerja sama Aldi ya?” tanya saya.

“Tenang saja. Bayaran yang akan kamu terima nanti tetap FULL seperti kamu sudah kerja 40 jam kok. Iya kamu hutang jam kerja dan nanti kamu akan tahu kenapa,” ujar salah satu senior saya di Bunbury dengan senyum menyeringai, penuh tanda tanya.

Seringai senyumnya itu kelak akan terwujud dan berujung pada penyerahan surat pengunduran diri saya.


Saat di training, pekerjaan fisik yang super berat, bisa saya lalui meskipun dengan terengah-engah hingga susah jalan saking kaku dan kagetnya badan saya di hajar deraan pekerjaan angkat, lari, angkat lagi, lari lagi dan jarang duduknya itu.

“Kamu itu TSM, harus bisa lebih cepat dari asisten toko yang lain! Masak mengisi suplai daging saja satu jam-an belum selesai? Kamu juga tidak berkeringat! Berarti kamu tidak bekerja dengan keras!” sergah senior saya gusar.

Saya marah dan langsung menyalak, “Saya memang tidak gampang berkeringat dan meskipun ikut maraton-pun saya tetap tidak berkeringat sebanyak kamu!”

Kawan saya bilang, kalau manager senior itu tidak menyukai saya karena saat awal bergabung, saya sudah berani memarahi departemen IT yang pernah menghilangkan hasil ujian online saya hingga saya harus mengulang semuanya dari NOL.

I don’t give a shit! Terserah dia mau suka atau tidak, toh kedepannya nanti aku tidak kerja di bawah dia. Aku cuma training sementara ini,” sergah saya tidak perduli.

Saya tidak bisa ditekan. Semakin saya ditekan, semakin berontak saya jadinya.

Belakangan, setelah tidak lagi di training di Bunbury, sebalnya saya pada si manager berubah juga. Saya maklum karena karakter dia memang bangsat dari sononya dan bisa secara alamiah bikin sebal banyak orang. Tapi dari dia juga saya belajar untuk kerja cepat dan tidak banyak bicara.

Satu hal yang sempat bikin saya hampir menyerah dan ingin resign di hari kedua training. Saat training jadi kasir, kita semua diwajibkan menghitung kembalian pembeli secara manual, pakai isi otak!

NAH LO!

Lah wong menghitung tambah-tambahan sederhana di bawah angka sepuluh saja saya masih pakai jari tangan! Ini malah diwajibkan menghitung kembalian pakai angan-angan?!?!?!

“Jadi total pembelian anda hari ini sebesar $37.25 sen. Uang anda $50. Jadi kembaliannya, engggg….” wajah saya merah padam dan kebingungan. Untungnya saya masih ditandem oleh senior lainnya yang terus menerus menjawab setiap jumlah kembalian dengan galak karena kegoblokan saya di masalah hitungan ini.

Butuh waktu sebulanan buat saya untuk bisa menguasai ilmu hitungan manual ini. Awalnya, saya sering salah hitung hingga mengakibatkan kerugian sekitar $10 sampai $25an!!!

“Salah Aldi lah! Kenapa tidak dipasangin kalkulator sih! Kan mereka juga yang rugi kalau kasirnya bolak balik salah kasih kembalian begini!” sergah saya tidak mau disalahkan.


Saya sempat sujud syukur setelah secara resmi diterima kerja sebagai Trainee Store Manager di Aldi.

Mungkin saat itu Tuhan tersenyum geli melihat kegirangan saya. Tuhan memang mengabulkan keinginan saya untuk bekerja di Australia dan melepaskan diri dari pusaran bisnis keluarga.

“Bosen lah! Masak ketemu suami terus-menerus sih? Ngurus anak, masak, bersih-bersih rumah, ngurus suami, ngurus bisnis keluarga, begituuuu terus. Bosen aku!” kata saya pada salah satu sahabat dekat.

Kelak, rasa kurang bersyukur saya ini akan dijawab oleh TUHAN Yang Maha Kasih dalam tempo yang sesingkat-singkatnya!


Per tanggal 30 Oktober, saya sudah mulai bekerja di Aldi Busselton. Mempersiapkan Aldi Busselton yang secara resmi dibuka pada tanggal 8 November 2017.

Dari toko yang kosong melompong hingga penuh dengan barang, dilakukan berangsur-angsur oleh kami, tim Aldi Busselton.

Sejak tanggal itu, saya paham kenapa kok jam kerja saat training di Aldi Bunbury tidak penuh 40 jam. Karena ternyata, hutang jam kerja itu saya lunasi saat mulai kerja di Aldi Busselton!

“Tenang saja, nanti kamu nggak bakalan bisa pulang kalau sudah persiapan pembukaan toko baru,” kata kolega saya di Aldi Bunbury sambil menyeringai.

Saya pernah kerja dari jam 6 pagi hingga pukul delapan malam selama tiga hari berturut-turut!

Sebagai satu-satunya TSM yang berada di Busselton (dua manager lainnya ada di Bunbury), saya juga pernah semingguan penuh datang ke toko diatas jam 9an malam untuk mengecek alarm toko yang tiba-tiba menjerit.

“Halo Nila, kami dari sekuriti memberitahukan bahwa ada pergerakan di sekitar area kasir. Tolong di cek yah,” perintah pihak sekuriti dari ujung telepon yang berlokasi di New South Wales!

Iya, sekuriti Aldi memang tidak berupa satpam melainkan alarm yang terkoneksi online dan berpusat di New South Wales, di sebelah Tenggara Australia.

Paling malam saya harus cek toko gara-gara jeritan alarm adalah pukul 1.30 dini hari! Suami saya langsung sigap menemani saya mendatangi toko. Jaga-jaga kalau beneran ada rampok disana!

Toh tidak pernah ada apa-apa selama saya bolak balik mengecek alarm toko hampir setiap malam.

“Pihak sekuriti yang pasang alarm bisa dipanggil kesini tidak? Masak saya setiap malam harus kesini sih? Pengen saya cekik orangnya itu!” kata saya gusar pada bos besar saya dari Perth. Belakangan diketahui bahwa ada kesalahan di sistem alarm kami yang menyebabkan alarm toko jadi gampang menjerit meskipun tidak ada apa-apa.

Cenasuwog!!!


SATU PERSATU MULAI TUMBANG

Sembilan hari sebelum Aldi Busselton resmi dibuka, kami semua kerja seperti orang kesurupan. Tanpa henti.

Pernah, area manager kami yang gantengnya maut itu, sampai merelakan hari liburnya hilang demi datang ke Aldi Busselton dan membantu kami mengurai keruwetan di gudang.

“Hah! Ternyata kamu tho Mark!??!?!” jerit saya demi melihat sesosok bercelana pendek dan berkaos garis-garis yang sibuk mengangkuti sampah di gudang.

Bayangkan, seorang AREA MANAGER sampai turun gunung mengurusi sampah yang menggunung!

“Lihat, akhirnya kita bisa melihat sinar!” katanya bangga setelah hampir satu jam-an penuh berkutat mengurusi sampah!

Semuanya kerja keras dan tidak ada satupun yang leyeh-leyeh dan main tunjuk tangan. Manager Aldi Busselton malah lebih sangar lagi kerjanya. Kim namanya. Pria beralis tebal, ganteng imut dan murah senyum ini malah bekerja TANPA LIBUR!

“Nanti saja liburnya kalau kondisi sudah stabil,” katanya kalem saat saya ketakutan melihat dia yang kerjanya tidak ada hentinya itu.

Bagaimanapun, kita sebagai manusia biasa ada batas kekuatannya juga. Saat letih yang luar biasa dan stres pekerjaan melanda, imun tubuh pun merosot. Satu per satu kolega saya mulai sakit.

Ada yang kena radang amandel. Ada yang kelenjar getah beningnya bermasalah. Ada yang muntaber. Ada yang mimisan. Ada yang sakit kepala. Dan, ada yang kesehatan mentalnya merosot: SAYA.

Karena beban pekerjaan sebagai TSM sudah melampaui batas kemampuan mental dan mulai memperburuk hubungan saya dan keluarga, sekitar semingguan setelah Aldi Busselton resmi dibuka, saya pun menyerah kalah sebagai Trainee Store Manager (TSM). Handuk putih pun saya lemparkan.

Saya minta turun jabatan jadi Store Assistant dengan jam kerja 25 jam/minggu dan tidak lagi 40jam/minggu.

Jabatan saya kemudian digantikan oleh Jodie, yang ternyata hanya kuat menjadi TSM selama dua minggu  dan minta balik lagi sebagai store assistant.

Pada 17 November 2017, saya menyerahkan surat pengunduran diri dengan hari terakhir kerja tanggal 3 Desember 2017.

Kim, kaget setengah mati sampai terlonjak ke belakang. Untungnya ada meja, kalau tidak, sudah terjengkang manager saya ini!

“Maaf Kim, Maaf…. Tapi keluargaku berantakan sejak aku kerja di Aldi. Anak-anakku jadi kurang perhatian. Bisnis keluarga jadi merosot drastis. Suamiku merasa terabaikan. Aku depresi Kim. Tekanan dari dua penjuru, dari Aldi dan dari Keluarga juga. Aku harus memilih keluargaku,” tutur saya sambil terisak.

Kim sempat memandangi saya dengan nanar dan tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik sebelum kemudian memeluk saya.

“Tidak apa-apa Nila, aku paham. Jadi ibu yang bekerja secara penuh memang luar biasa berat. Aku cuma bisa bilang bahwa kamu memang harus merawat diri kamu sendiri. Menjaga diri kamu dan keluargamu dulu,” tuturnya bijak sambil menahan pilu.

“Sebenarnya, daripada kamu mundur total begitu, kenapa tidak menurunkan jam kerja saja menjadi 15 jam/minggu?” tawar Kim beberapa hari kemudian.

“Kalau kamu tidak disini lagi, bagaimana nantinya nasib kita?” kata beberapa kolega lainnya dengan sedih sekaligus khawatir. Karena tanpa saya, beban kerja yang akan mereka pikul pastinya jadi lebih berat!

Saya semakin tersudut. Pilu hati rasanya. Di satu sisi, saya kelelahan fisik dan mental, di sisi lain, saya jatuh sayang pada Tim Aldi Busselton yang sudah saya anggap saudara sendiri itu

Saya pun menyetujui usulan untuk kembali mengurangi jam kerja itu. Yang awalnya 40 jam/minggu, turun jadi 25 jam/minggu dan terakhir jadi 15 jam/minggu.

Pengunduran diri saya kemudian dibatalkan oleh Area Manager dan seluruh kolega saya pun bersorak girang.


Tim awal Aldi Busselton ada Kim, Dee, Jodie, Linh, Rob, Ben, Sarah, Jamie dan saya.

Sarah, yang paling muda. Usianya sekitar 18 tahunan dan penderita diabetes tipe 1, dimana dia harus makan setiap 5 jam sekali dan harus menyuntikkan insulin ke perutnya setiap lima jam sekali juga.

“Yang penyakitan parah begini kok bisa keterima di Aldi sih???” kata saya heran dan tidak kaget setelah tahu Sarah kemudian mengundurkan diri setelah sebulanan bergabung dengan Aldi.

Eh ternyata Linh juga diabetes tipe satu. Meskipun tidak harus menyuntikkan insulin tapi dia harus makan setiap lima jam sekali. Sayangnya, saat dia bergabung di Aldi, jadwal makannya itu berantakan. Tapi Linh fisiknya kuat sekali karena mentalnya juga baja. Lelaki asal Vietnam yang sudah menetap di Australia sejak bayi ini, satu-satunya tim Aldi Busselton yang fisiknya sangar! Linh mampu mengangkat beban yang dua kali lebih berat dari tubuhnya sendiri! Jarang mengeluh tapi sering misuh, sama seperti saya.

“Aku dulu kan pernah kerja jadi bricklayer (tukang pasang batu bata). Kerja beginian sih entengggg,” tuturnya santai.

Suatu kali, Linh pernah ditanya serius oleh Manager kami mengenai cara penanganan kondisi daruratnya, jikalau dia tiba-tiba kolaps.

“Ah gampang saja. Tendang saja yang keras. Nanti pasti aku bangun sendiri,” katanya cuek.

“HAH!!?!?! Kamu gendeng yah? Apa kata orang nanti jika ada yang lihat aku atau Kim menendangi orang yang sudah rebah dilantai???” jerit saya. Linh malah terbahak. Sarap!

Linh adalah kolega pertama saya yang pernah bertandang ke rumah. Dan Kurt, suami saya, langsung klop dengannya.

Dee, yang sayangnya akan mundur secara resmi pada pertengahan Desember 2017 nanti, sudah bekerja di Aldi sekitar enam bulanan. Wanita asli New Zealand ini pekerja keras yang benar-benar KERAS. Dee bisa bertahan menyelesaikan pekerjaan hingga tengah malam secara semingguan penuh dan tidak mengeluh. Beda dengan saya yang baru dua mingguan kerja rodi saja sudah MENYERAH!

“Kamu ini luar biasa kuat dan hebatnya. Pake obat apa sih? Bagi dong?” canda saya.

“Ih, ini sih bukannya kuat, tapi bodoh! Harusnya aku sudah mengundurkan diri sejak sebulanan aku gabung dengan Aldi!” rutuknya geram.

Dee seorang ibu satu anak dan tinggal di Bunbury. Saking seriusnya bekerja, anak semata wayangnya sampai sakit karena rindu kehadiran ibunya.

“Padahal aku bertahan di Aldi ini karena ada kamu loh Dee,” kata saya pilu saat menyadari wanita berambut panjang dan bermata aduhai ini, mengundurkan diri.

Jamie, wanita muda usia 25an yang asli Zimbabwe juga mulai merosot kesehatannya. Berkali-kali harus cek darah karena sering merasa letih yang amat sangat dan kesakitan di bagian perutnya. Jamie ini selalu tertawa dan jarang sedih. Kami berdua sama-sama berpostur kutilang darat (kurus tinggi langsing dada rata). Bedanya, Jamie CANTIK SEKALI dan saya… CANTIK juga lah! Wani ngeyel, jambak!

Jamie selalu berhasil menaikkan mood saya, setiap kali melihat dia tersenyum lebar diiringi dengan mata indahnya yang membulat dan tak ketinggalan cara bicaranya yang banyak diawali dengan huruf “F” itu!

Ben, laki-laki muda usia 22 tahun yang tinggi sekali ini (saya sampai tengadah kalau bicara sama dia), juga mulai mengurangi ritme kerjanya. Ben terkena radang amandel parah!

“Aku tidak kaget kalau Ben kemudian mundur juga,” kata saya datar pada kolega lainnya.

Rob, lelaki pirang yang hobi surfing ini, sampai pernah masuk UGD karena muntah-muntah dan tidak berhenti mimisan sampai setengah jam lamanya. Imun tubuhnya merosot drastis karena kelelahan dan stres.

Jodie, satu-satunya kolega saya yang paling berumur. Usianya 47 tahun tapi fisiknya kuat sekali! Paling galak tapi baik hati. Jodie pernah menggantikan posisi saya sebagai TSM meskipun hanya sebentar.

“Aku jadi jarang pulang tepat waktu dan jarang bertemu anak semata wayangku,” tuturnya.

Kemudian, datang Sarah rambut pirang yang ternyata bekas klien hewan suami saya dulu.

“Ih, itu Kurt kan? Suamimu yah? Dia dulu kan yang merawat si Max, anjingku,” katanya saat melihat saya di antar oleh suami dan diberi kecupan ringan di bibir.

Sarah rambut pirang ini kerjanya lumayan konsisten dan entah berapa lama dia akan bertahan karena sejak dia bergabung dua mingguan yang lalu, ritme kerjanya lumayan tinggi dan bikin dia sering lembur juga.

Beberapa hari lalu, ada dua asisten toko baru, Nicole dan Gaye. Nicole, pada hari kedua dia kerja, sudah mengeluh tidak karuan karena badannya capai setelah bekerja dari pukul 6 pagi sampai pukul 3 sore.

“Hahahaha… aku dulu pernah tiga hari berturut-turut kerja dari pukul 6 pagi sampai jam 8an malam loh. Selamat datang di Aldi!” kata saya sambil terbahak.


Aldi Supermarket terkenal dengan harga murahnya. Varian dagangannya tidak sama dengan supermarket di Australia lainnya. Beberapa di impor rutin dari Inggris dan Jerman.

“Kok bisa murah begitu ya harganya?” tanya banyak pembeli, heran.

Ya jelas saja murah karena Aldi mengedepankan efesiensi, termasuk efisiensi dalam masalah karyawan. Dengan jumlah karyawan yang terbatas, Aldi bisa menurunkan harga jualnya.

Saking efiesiennya, Aldi tidak punya staf khusus bagian pengisian barang, tidak ada staf bagian bersih-bersih, tidak ada staf gudang, tidak ada staf yang merapikan troli dan tidak ada staf kasir. Semuanya harus dilakukan oleh seluruh staf. Dipikul secara bergantian.

Misalnya nih.

Untuk shift pagi, pukul 5.50 pagi sudah harus memindai sidik jari di mesin absensi dan langsung TANCAP GAS mengisi rak-rak toko.

Satu orang bagian fresh produce dan bunga, satu orang bagian daging dan makanan di area chiler (area yogurt, susu, mentega, krim dsb). Satu orang mengisi barang-barang kering dan satu orang bersih-bersih toko dan gudang.

Pukul 7 pagi, semua kerjaan harus sudah BERES! Dan jarang sekali yang seperti ini bisa selesai pukul tujuh teng! Memangnya manusia kekuatan apa yang bisa melakukan itu dalam waktu satu jam?

Dan, itupun jarang sekali untuk shift pagi ada EMPAT ORANG. Seringnya malah TIGA ORANG dan tidak jarang cuma DUA ORANG SAJA!!!

Shift pagi buat saya dan kawan-kawan, paling berat karena harus bekerja di kejar waktu. Kami membawa kardus barang yang berat-berat sambil berlarian kesana kemari seperti ada kebakaran.

Ditambah lagi harus mengisi rak roti. Belum juga mengisi area telur yang per-kotaknya lumayan berat itu.

Semua berlari dan terengah-engah.

Pukul delapan, kami sudah mulai melihat pembeli menempelkan wajah mereka di pintu kaca, mengintipi kami yang sibuk kesana sini dengan kecepatan setan.

Jancuk’an iki ancene wong Busselton! Toko belum buka sudah pada antri! Mana pakai acara ngintip-ngintip segala lagi!” rutuk saya gemas dengan Inggris yang banyak dihiasi awalan “F” itu.

Pukul 8.30 pagi, toko dibuka.

Satu staf akan dipasang sebagai kasir, sisanya berlarian kesana sini merapikan toko dan menyelesaikan pekerjaan pagi. Jangan salah. Selain masih harus menyelesaikan pekerjaan pagi, staf yang lari kesana kemari itu harus siap juga dipanggil sebagai kasir saat antrian mulai memanjang.

Ini yang bikin stres. Pekerjaan mengisi rak belum selesai, sudah harus berlari ke kasir melayani pembeli dimana kami harus selalu sumringah padahal batin misuh-misuh!

Shift pagi biasanya baru bisa pulang pukul 2-an siang. Itupun kalau BISA PULANG. Tidak jarang, manusia shift pagi pulang jam 4an sore dan bahkan hingga jam 6an malam!

Untuk shift siang hingga malam, lebih horor lagi kerjanya!

Mereka biasanya datang pukul 2 siang hingga malam. Untuk yang level manager, biasanya datang pukul 12 siang hingga malam.

Shift siang, kerjanya ya di kasir, merapikan barang, mengisi rak kosong (termasuk sayur, buah, daging, segala barang di lemari pendingin dan freezer juga).

Shift siang akan terus bekerja hingga toko tutup pukul 7 malam. Setelahnya, mereka kembali mengisi rak kosong, merapikan gudang dan bersih-bersih.

Paling apes kalau ketiban shift malam di hari Selasa dan Jumat, karena mereka biasanya akan bekerja hingga dini hari untuk menyiapkan rak khusus untuk Special Buys Wednesday dan Saturday (hari diskon khusus rabu dan sabtu).

Saya beberapa kali kerja sampai larut malam dan keesokan harinya dapat jadwal shift pagi! Brutal sekali jadwal ini!

Harusnya, yang dapat shift malam, ya dikasih libur satu hari terus dapat shift pagi. Bukannya pulang malam tapi kerja lagi di pagi harinya!

“Alasan kurang staf itu bukan urusanku! Lama-lama semua staf disini akan mundur satu persatu kalau terus-terusan dihajar dengan lamanya jam kerja yang tidak manusiawi ini,” sergah saya pada dua manager yang diikuti kicauan sumbang serupa dari kolega yang lainnya juga.


Saya ini orangnya tidak tahan stres. Depresi saya bisa kambuh cepat. Di tahun 2014, saya hampir saja kena “mental breakdown” dan sempat merasakan depresi itu menguat lagi saat saya kerja di Aldi dan saat masih menjabat sebagai Trainee Store Manager.

Karena kelelahan, saya jadi malas bicara dan uring-uringan di rumah. Saya dan suami yang memang selalu berbeda pendapat, jadi semakin sering bertengkar. Anak-anak jadi kurang saya perhatikan juga karena badan dan pikiran saya terlalu letih.

Perlahan, hubungan harmonis saya dan keluarga pun merosot.

“Aku memang jatuh sayang pada kawan-kawan di Aldi, tapi keluargaku ini TIM PERTAMA dan TIM KESAYANGANKU. Aku tidak bisa bekerja seperti ini terus-terusan. Bisa gila aku nantinya,” tutur saya pada manager di Aldi.


“Kamu kok kelihatannya bahagia sekarang?” kata beberapa kolega saya.

“Karena hari-hari normalku sudah kembali lagi. Kamu pasti akan bahagia kalau jam kerjamu jadi cuman 15 jam per minggu,” kata saya riang. Tapi kawan saya langsung cemberut. Mereka masih muda dan butuh uang banyak untuk bayar ini itu. Makanya mereka bertahan di Aldi.

Saya butuh uang juga lah! Tapi saya kan masih ada bisnis sampingan dengan suami. Masih bisa bekerja kasual disana sini untuk cari tambahan.

“Uang memang penting, tapi kalau bikin kamu depresi dan berkali-kali sakit, apa ya itu tujuan hidupmu?”, tanya saya pada salah satu kolega yang kena penyakit serius itu.

Ah entah sampai berapa lama mereka akan bertahan. Kita lihat saja nanti.


Hubungan saya dengan suami sudah kembali menghangat. Anak-anak juga tidak sedih lagi karena saya sudah sering ada di sekitar mereka. Makanan juga selalu ada meskipun saya masaknya ya begitu-begitu saja. Rumah jadi rapi. Dapur bersih. Pokoknya semuanya kembali normal seperti sebelum saya kerja di Aldi.

Tuhan Maha Tahu kalau saya ini memang selayaknya berada di sekitar keluarga. Tuhan memang kasih saya pekerjaan di Aldi ini untuk menampar saya yang kurang bersyukur. Sudah dikasih pekerjaan keluarga yang lumayan stabil tapi masih mencak-mencak ingin kerja di luar rumah demi gengsi saya sendiri yang dulunya memang pekerja kantoran.

Tuhan Maha Kasih akhirnya membuka mata hati saya bahwa keluarga adalah rumah saya yang sebenarnya bukan di kantor apalagi di Supermarket Jerman!


Lalu mau berapa lama di Aldi? Wah kurang tahu ya.

Kalau cuma 15 jam seminggu sih enteng! Toh saya masih dapat tunjangan pensiun dari Aldi. Masih dapat overtime kalau ada lemburan.

Untuk sementara saya bekerja kasual dulu di Aldi. Untuk ke depannya, saya tunggu saja rencana Tuhan nanti apa lagi 🙂

Busselton, 7 Desember 2017 Pukul 10:57 (Waktu Perth)