Ini tulisan sambungan saya, dari tulisan terdahulu, Beli Kucing Dalam Karung.
Tulisan tentang riuhnya kehidupan pernikahan saya dengan Kurt Rogers, yang kebetulan berkewarganegaraan Australia, yang 19 tahun lebih tua, yang hiperaktif, yang jenius, yang absurd dan yang saya cintai sepenuh jiwa raga.
MENOLAK DULU
Saya ini bukan tipe jinak-jinak merpati. Lebih tepatnya, saya ini jinak-jinak NGGAPLEK’I.
Kalau di uber, saya lari dan tidak perduli. Dan kalau di cuekin, saya cuek juga.
Saya ini manusia rumit. Semua mantan-mantan saya paham betul bagaimana susahnya mengatur saya. Di tekan, saya minta putus. Di lepaskan, saya cari pacar lagi.
Pernikahan pertama saya gagal, karena saya melawan nurani dan perjanjian hati saya dengan diri saya sendiri. Sudah tahu dari awal, kalau sahabat sendiri itu jangan dipacari, eh ini malah SAYA NIKAHI. Dan benar saja, hubungan kita berakhir singkat dan ujung-ujungnya, saya dan mantan suami kembali jadi sahabat lagi.
Saya galau berat sebelum memutuskan untuk bercerai, karena sudah ada Andrea yang saat itu masih berusia satu tahunan. Tapi hati saya tidak bisa dibohongi, saya tidak bisa melanjutkan pernikahan itu. Dan karena saya tahu saya ini manusia goblok, saya minta petunjuk dong. Kali ini langsung pada yang membuat saya: Tuhan.
Tiga hari tiga malam saya berdoa keras. Minta ijin untuk cerai. Jawaban itu datang. Tuhan mengiyakan dengan mengambil beban gunung yang saya emban. Badan saya seketika menjadi ringan dan perasaan saya jadi tenang. Jadi damai. Mantan suami pun bersedia menjatuhkan talaknya. Saya dan dia, bercerai dengan indah.
Dengan Kurt juga begitu, saya berdoa untuk dikasih suami yang TERBAIK menurut-Nya dan bukan menurut saya.
Kurt di sodorkan. Awalnya, saya menolak keras. Dan berkali-kali berdoa meminta petunjuk untuk berpisah. Dan berkali-kali juga saya di “jawab”: KEMBALI KE SUAMIMU.
LAKI-LAKI ABSURD VERSUS WANITA BENGAL
Tuhan Maha Kasih dan Maha Tahu mana yang terbaik untuk umatnya. Terutama buat saya.
Kalau bukan Kurt, mungkin saya sudah menikah hingga belasan kali.
Kalau bukan dengan Kurt, mungkin saya tidak akan bisa belajar ikhlas.
Dan kalau bukan dengan Kurt, saya tidak belajar menurunkan ego.
Menikah itu rumit. Saya tidak punya role model ataupun contoh yang baik dari kedua orang tua saya, karena mereka bercerai saat saya masih remaja. Tapi saya tidak menyalahkan mereka. Toh ini memang karakter buruk saya kok. Saya memang gampang menyerah dengan segala sesuatu yang mengikat. Saya tidak suka di atur. Tidak suka ditundukkan.
Di usia 25 tahunan, perjalanan hidup percintaan saya ambruk ke titik nadir. Saat saya dengan sadar, mengkhianati mantan pacar saya jaman kuliah dulu. Laki-laki baik itu saya sakiti dengan kejam. Kami pacaran hampir lima tahunan lamanya. Tapi kemudian saya berselingkuh. Tidak lama, seminggu saja. Namun, seminggu berselingkuh, saya tidak mampu lagi menahan beban kebohongan di dada. Rasanya sesak sekali. Saya pun menelpon dia, mengakui semua perselingkuhan saya yang berumur semingguan itu.
“Shit!” itu kata pertamanya.
Saya memang: shit.
Sedih yang tak terkira saat berpisah dari dia. Sampai depresi lima tahunan. Namun, bukannya belajar dari pengalaman untuk jadi dewasa, saya semakin menggila. Berganti-ganti pacar seperti mengganti tisu.
Tuhan melihat kesombongan saya dan Tuhan menyimpan karma itu buat saya, nanti.
“Cuma aku yang bisa menandingi kamu! Cuma aku yang bisa bikin kamu bahagia! Cuma aku yang bisa bikin kamu bertahan disini. Kamu tahu kenapa? Because I am a dick head and you’re a bitch!”
Begitu kata suami saya sambil memeluk saya erat, saat saya kumat tantrumnya, ingin minggat.
Saya belum pernah menikah secara sungguh-sungguh. Yang pertama dulu itu seperti guyonan saja rasanya.
Dengan Kurt, saya belajar semuanya dari awal.
Kurt juga begitu, Saya istri pertamanya dan Kurt adalah laki-laki pertama yang pernah tinggal satu atap dengan saya. Iya, pernikahan pertama saya dulu memang jauh-jauhan. Makanya saya sama sekali tidak berpengalaman hidup serumah dengan laki-laki, kecuali dengan Andrea, putra sulung saya.
Menikahi lelaki lokal buat saya sudah cukup merepotkan, apalagi ini, kawin dengan bule yang beda bahasa, beda kultur, beda cara berpikir, beda semuanya. Saya rasanya seperti di hadapkan pada ujian matematika ribuan lembar. STRES!
Ada yang bilang, fase lima tahun pertama di pernikahan itu yang paling susah. Dan kalau ada pasangan yang berhasil melalui fase itu, maka mereka akan sukses!
Hemmmm, mungkin benar mungkin juga tidak.
Tapi yang pasti, di kisaran lima tahunan kebersamaan itu, saya dan suami sudah mulai bisa mengerti satu sama lain.
Kurt sudah paham, saat saya mulai uring-uringan, berarti jadwal menstruasi saya mulai mendekat dan itu tandanya dia harus jaga jarak.
Saya, kalau lagi Pre-Menstruasi, galaknya ngalah-ngalahin Duterte!
Saya juga begitu, paham akan adatnya Kurt yang pelupa, slebor, gampang panik dan sok ngatur. Saya sudah mulai bisa menurunkan kapak perang, saat adat jeleknya itu muncul.
Dulu, di awal-awal pernikahan, wah riuh sekali!
Ibu saya sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah kami berdua. Semenit adu mulut, menit berikutnya sudah ketawa-ketiwi.
“Namanya orang rumah tangga ya begini ini. Tidak mungkin bisa adem ayem selamanya. Adu pendapat itu wajar, tidak perlulah sedikit-sedikit kabur kalau hanya masalah adu debat saja,” kata Kurt berusaha menenangkan saya yang sudah angkat koper, mau minggat lagi.
“Aku benci KAMU!” kata saya kejam.
“Aku cinta kamu!” balasnya. Saya diam.
Entah sudah berapa ribu kali, saya suruh Kurt untuk cari istri lagi.
Entah sudah berapa ribu kali saya minta petunjuk Tuhan untuk berpisah. Dan entah sudah berapa ribu kali, Tuhan menyelamatkan pernikahan kami.
TAKUT TUHAN
Saya ingat betul jawaban Tuhan saat pertama kali saya minta pisah dari Kurt, di usia pernikahan yang baru berjalan tiga bulan itu. Saat itu saya masih di Perth, belum pindah ke Busselton.
Saya yang masih arogan dan kena penyakit post power syndrome, langsung pasang kuda-kuda perang saat kali pertama menjalani hidup suami istri di Australia. Saya stres dengan perubahan mendadak dan stres menghadapi suami yang menurut saya, manjanya melebihi bayi!
Tuhan tidak menunggu lama menjawab saya. Keesokan harinya, perasaan saya ditentramkan. Cinta yang rasanya sudah amblas, eh kok muncul lagi dan menguat.
Bodohnya, saya masih saja tidak percaya dengan jawaban Tuhan (duh!).
Setiap kali saya dan Kurt bertengkar, saya langsung berdoa minta di ijinkan pisah. Dan seketika itu juga di jawab melalui penentraman perasaan. Saya kembali luluh.
“Aku loh tiap kali berdoa minta pisah sama kamu kok di jawab ‘kembali ke suamimu’ terus sama Tuhan,” kata saya keceplosan.
Kurt tertawa lebar.
“Rasain kamu seumur hidup sama aku terus!” katanya riang.
Suatu kali, mungkin karena capai di kasih proposal minta pisah terus sama saya, umatnya yang bebal ini, Tuhan kemudian mengganti cara menjawabnya. Kali ini lebih “nyata”.
Saya, kumat tantrumnya. Bertengkar hebat lagi. Kurt menjauh ke shed (gudang peralatan) sedangkan saya sibuk menyiapkan koper, minggat lagi. Eh, saat baru membuka laci, tiba-tiba saya melihat buku doa dan mukenah saya di dalamnya. Sedetik kemudian, saya seperti mendengar bisikan halus, tak bersuara yang terdengar kuat di telinga “minta maaf ke suamimu”.
Sontak hati saya menjawab, “kok aku yang minta maaf?”
Belum ada satu detik saya berpikiran begitu, tiba-tiba ada semacam dorongan halus tapi kuat ke tubuh saya. Rasanya saya di dorong keluar. Halus saja, tapi kuat.
Saya menurut.
Saya keluar dan menuju ke Shed dimana Kurt sedang sibuk dengan mobilnya. Melihat saya berjalan mendekat, wajah suami saya berubah panik, ketakutan. Mungkin dipikirannya saya mau mengamuk lagi.
“I am sorry,” kata saya singkat.
Kurt sampai terperangah. Karena saya jarang sekali meminta maaf.
Semenjak itu, saya tidak lagi berdoa minta pisah. Percuma, karena saya sudah tahu jawabannya apa.
Suami saya orangnya tidak relijius, sama seperti saya. Ritual keagamaan memang tidak melekat dengan baik dan kita tidak suka memperlihatkan ke publik juga. Hubungan dengan Tuhan, buat kami berdua adalah hubungan privasi yang tidak wajib di buka ke publik. Buat apa? Yang pasti, kami berdua takut Tuhan.
Pernah, suatu kali saya marah (lagi). Malam-malam saya kabur sendirian naik mobil dan berniat tidur di mobil saja. Entah dimana.
Seperti biasa, Kurt pasti mengirimi pesan pendek. Seringnya masih adu debat. Tapi kali ini beda. Dia malah mengirimkan doa.
“Semoga Tuhan mendamaikan hatimu”, tulisnya di akhiran SMS-nya yang panjang sekali itu.
Benar saja, tidak sampai lima menit, amarah saya tiba-tiba hilang tak berbekas. Dan sayapun pulang ke rumah. Tidur di pelukan hangat suami.
SAYA KUAT KARENA KURT
Tuhan sudah menyiapkan segala ujian ini untuk saya, biar saya tidak lagi sombong dan tidak lagi meremehkan lembaga pernikahan.
“Nila ini tipikal wanita yang tidak bisa di ikat. Pasti dia akan memberontak. Tapi aku harus ikat dia, karena kita sudah berkomitmen. Menikah itu komitmen dengan Tuhan juga. Menikah itu proses belajar tanpa henti dan harus dimulai lagi setiap pagi dengan awalan cinta. Wajib itu,” kata Kurt pada salah satu kawannya yang baru saja menikah. Saya yang duduk di sebelah Kurt, meringis saja.
Kurt belum pernah menikah memang, kalah satu langkah dengan saya yang sudah pernah menikah, tapi gagal. Tapi, meskipun belum pernah menikah, pengalaman hidup Kurt sudah cukup dalam. Kurt paham betul sakitnya berpisah, ribetnya memulai hubungan yang baru dan susahnya menjaga kelanggengan hubungan.
“Aku tidak akan pernah menyerah. Karena kamu itu HIDUPKU,” ujarnya ribuan kali pada saya. Berusaha meluluhkan hati saya yang keras dan sombong itu.
“Kamu yang bikin aku sedih! Kamu yang bikin aku depresi! Kamu layak mendapat semua sumpah serapahku! Kamu yang salah!” ribuan kali amarah itu terlontar pada Kurt, tanpa sedikitpun saya menurunkan ego saya. Pokoknya saya harus menang!
Prinsip saya itu simpel sebenarnya. “Kalau tidak mau, enyahlah!”
Tapi ini yang di suruh pergi, bergeming. Berdiri tegak, menolak untuk pergi. Menolak mencari yang lain. Menolak untuk berhenti mencintai saya, wanita nggaplek’i ini.
Tuhan mendatangkan ujian dan cobaan tapi juga memberikan penawarnya. Saya diberi rentetan ujian hingga saya depresi, tapi juga diberikan obatnya: Kurt.
Kalau ada yang bilang saya ini wanita kuat, sebenarnya yang bikin kuat ya pendamping saya ini.
Kurt tidak pernah menyerah dalam hal apapun demi saya. Saat saya dirundung depresi, ada Kurt yang selalu menyiapkan sepeda di sore hari, agar saya bersepeda dengan dia dan anak-anak. “Depresi itu obatnya cuma satu, olahraga,” kata Kurt yang juga pernah depresi berat itu.
Saat saya kelelahan dan benar-benar ingin sendiri, Kurt memberikan ijin pada saya untuk liburan sendirian di Indonesia. Meskipun hanya sepuluh hari.
Lambat laun, segala sesuatunya mulai berjalan dengan nyaman. Semenjak kami pindah ke rumah yang baru dan sejak Kurt tidak lagi jadi dokter hewan, hidup kami berdua serasa bulan madu terus. Meskpun adu argumen masih terus berjalan, tapi tidak seriuh dulu. Dan saya, tidak lagi kabur-kaburan kalau lagi tantrum.
KUALITAS PILIHAN
Semua yang ada pada Kurt, saya suka.
Kurt itu seleranya bagus, karena dia juga seniman. Dari mulai masalah pilihan warna piring, rumah, warna sofa, baju, musik hingga masalah potongan model rambut, saya suka semuanya.
Kurt itu jenius. Kalian tanya apa saja, pasti dia ada jawabannya. Saya mengibaratkan dia ini seperti ensiklopedia berjalan. Ingatannya kuat sekali, berbanding terbalik dengan saya yang masuk pintu mall A bisa keluar lewat pintu C, karena tersasar.
Kurt bisa apa saja. Tidak hanya masalah kesehatan hewan; masalah pertukangan, pertanian, mobil sampai memasak, dia bisa semua. “Cuma melahirkan saja yang dia itu tidak bisa,” kata sahabatnya.
Kurt itu preman di luar, tapi berhati syahdu. Garang di luaran, tapi super sensitif di dalamnya.
Saya? Manis di luar, tapi bisa jadi pembunuh berdarah dingin.
“Aku ini psikopat ya? Soalnya kalau aku sudah marah dan kalap, sepertinya hatiku dingin sekali. Rasanya aku bisa melakukan kekejaman tanpa rasa sedih. Aku takut,” tutur saya pada Kurt yang juga paham masalah psikologis.
“Bukan. Kamu sama sekali bukan psikopat, karena kamu masih ada empati. Tapi kamu memang wanita yang sangat berbahaya,” jelasnya. Saya terdiam.
Pernah suatu malam, menjelang dini hari, Kurt membawa keenam bebek-bebek peliharaan kita, dimasukkan mobil dan menyetir selama hampir satu jam ke pinggiran kota, hanya untuk melepaskan mereka ke alam liar.
“Kenapa tidak dikasihkan ke orang lain saja sih? Atau dipotong semua dan dijual dagingnya kan bisa?” protes saya.
“Kok tega banget sih! Kamu itu loh yang kasih makan mereka. Kok kamu tega mau memotong mereka?” katanya sedih.
Kalian tahu, itu bebek semuanya saya yang kasih makan. Dan semuanya menurut pada saya. Kalau saya panggil, pasti datang semua. Kurt, malah jadi musuh para bebek, karena Kurt sering menendangi kandang mereka saat mereka berisik.
Tapi lihat, saya dengan enteng merelakan para bebek untuk di sembelih, sedangkan Kurt rela malam-malam menggendong para bebek untuk di lepaskan ke alam liar.
Kurt itu family-man, alias kebapakan. Saya, manusia individualis. Saya tidak betah berlama-lama mengurusi keluarga, saya maunya sendiri dan disendirikan. Makanya saya masih menyimpan impian untuk traveling keliling dunia, sendirian.
“Aku ikut juga dong!” kata Kurt dengan mata berbinar. Saya melengos.
MENERIMA JODOH TUHAN
Kami menikah tanggal 7 September 2011.
Sudah lima tahunan lebih kami bersama. Cinta kami berdua semakin menguat. Meskipun saya sampai sekarang masih bingung, dari sisi mananya suami saya ini bisa sedemikian dalam cintanya pada saya? Padahal, kalau mau, ada ribuan wanita yang kualitasnya melebihi saya, rela di kawini dia.
“Ih mau dong! Nanti aku cari yang susunya besar,” goda Kurt. Saya terbahak.
Saya, tidak pernah sekalipun pernah berkata seperti itu. Sama sekali tidak terlintas di benak, kalau saya nantinya menikah lagi. Saya sadar diri. Lelaki berikutnya pasti akan berakhir seperti tisu, sama seperti yang dulu-dulu.
Cuma Kurt yang bisa bikin saya paham, cinta itu apa.
Cuma dari kedalaman cinta Kurt, yang bikin saya merasa seperti wanita paling keren sedunia.
Cuma kengeyelan Kurt untuk terus bersama, yang bikin saya sadar esensi berumah tangga itu apa.
Cuma Kurt yang bisa bikin saya berkata: maaf.
Cuma Kurt yang bisa.
Busselton, 070717 pukul 09:46 waktu Perth
Leave a Reply