Saya bukan penggemar sepak bola, tapi sedari kecil, saya sering di ajak oleh ayah saya menonton bola di Stadion Petrokimia.
Saat itu, tim yang dibela ya Petrokimia Putra, karena kebetulan ayah saya memang karyawan Petrokimia. Seringnya, saya diajak menonton di tribun yang ada atapnya. Jadi kalau hujan, tidak basah kuyup. Oh iya, saya dari kelas 2 SD sudah pakai kacamata. Jadi, saat melihat bola di stadion, seringnya saya tidak tahu bolanya lagi ada dimana hehehe Tidak kelihatan!
Saya sebenarnya lebih tertarik pada tingkah laku suporternya. Yang menurut saya, mereka lebih menarik daripada puluhan laki-laki yang sibuk berlarian kesana kemari memperebutkan satu bola dan jarang bikin gol.
Nah suatu kali, saya di ajak ayah saya duduk di deretan suporter yang tidak di kawasan tribun. Di deretan bonek, begitu istilah saya. Entah saat itu yang main Petrokimia Putra atau Persegres, saya tidak ingat dan tidak perduli.
Tapi di situlah saya pertama kali melihat kehebohan perseteruan antara dua kubu suporter. Saling teriak dan saling ejek. Ribut sekali!
Mata saya kemudian tertumbuk pada sesosok pemuda ceking yang tiba-tiba berdiri sambil membawa segelas air mineral yang sudah kosong. Saya terus mengikuti gerak-geriknya. Eh, pemuda itu kemudian menuju tembok belakang dan mengencingi gelas yang dipegangnya tadi. Menampung urinnya sendiri. Saya terus saja menatapnya heran.
“Gawe opo iku? (buat apa itu),” tanya kawannya.
“Ape tak sawatno nang arek-arek iku! (mau aku lempar ke mereka),” jawabnya sambil menunjuk ke arah suporter lawan.
Pemuda ceking itu kemudian berjalan perlahan. Tangan kanannya membawa gelas berisi cairan kekuningan sambil matanya terus menatap ke lapangan, mengikuti jalannya pertandingan. Dan tak lama kemudian, tim bola di kubu kita berhasil memasukkan GOL! Semuanya bersorak! Pemuda itu juga!
Tangannya mengudara sambil berteriak kencang “Gooollllll… Asuuuuuuu!!!!”
Wajahnya basah kuyup tersiram urinnya sendiri. Saya tertawa sampai sakit perut. Si pemuda itu terus menerus memaki dan ditertawakan kawan-kawannya yang langsung bergerak menjauh.
Semakin dewasa, saya semakin sering di ajak menonton bola. Saya senang karena pasti bisa puas tertawa melihat tingkah absurd para suporter. Tapi semakin ke sini kok absurdnya semakin tidak lucu. Kalau suporter sudah bawa pentungan, bawa linggis, bawa senjata tajam, buat saya, mereka sama sekali tidak lucu!
Salah satu kawan SMA saya pernah kebagian tugas menjaga karcis masuk di stadion Petrokimia. Entah dari suporter mana, mereka menolak membayar karcis masuk. Bermodalkan keroyokan, mereka mulai merangsek masuk. Puluhan polisi yang bersiaga mulai kewalahan. Ada yang memanjat batuan dinding stadion dan ada juga yang berusaha menerobos pintu masuk.
Apesnya, tempat tiket berbentuk persegi panjang seukuran kotak peti itu juga di rangsek para suporter yang entah kenapa kok marah-marah. Kawan saya terjebak di dalamnya. Kotak tiket itu di goyang ke kanan dan kiri. Dan sebelum rebah ke tanah, kawan saya berhasil melompat keluar dan lari lintang pukang, menyelamatkan diri.
Brakkkk!!! Kotak tiket itu ambruk ke tanah dan puluhan pemuda segera berebutan mengambili apa saja yang ada di dalamnya.
Ini suporter bola apa rampok sih?
Ibu saya dulu punya usaha salon di pinggir jalan. Dan, jika sudah musim bola tiba, Ibu saya sering menutup salonnya.
Daripada nanti salon Mama di rusak sama mereka, kata ibu saya sedih.
Dan tidak hanya ibu saya, ratusan pemilik usaha juga sama. Mereka akan beramai-ramai menutup tempat usaha mereka. Daripada hancur, begitu alasan mereka.
Ini yang bikin miris. Ada pertandingan bola kok malah bikin seisi kota jadi tegang. Ini sebenarnya mau ada pertandingan olah raga atau mau ada perang???
Pertandingan olahraga bukannya malah bikin jiwa raga kita senang ya? Biar kita bahagia? Biar bisa tertawa dan sekaligus menangis kalau tim kesayangan kita kalah? Lah ini kok malah bikin was-was????
Yang sukanya keroyokan itu pengecut! Beraninya kalau ramai-ramai, kalau sendirian, meringsut kayak curut! Itu ungkapan Ibu saya.
Saya datang dari keluarga yang banyak laki-lakinya. Dan semuanya di doktrin sama: HARUS BERANI menghadapi apapun, SENDIRIAN!
Suatu kali, saya mungkin masih usia 8 tahunan. Adik saya masih ingusan. Kami bertiga dengan (almarhum) Kakek saya bepergian entah kemana, mengendarai mobil bak pick-up usang.
Yang saya ingat, pas berhenti lampu merah di perempatan sentolang (McD Sentolang Gresik), ada puluhan suporter tiba-tiba naik ke atas mobil. Mereka berteriak gaduh. Kakek saya naik pitam! Tak perduli kalah jumlah, kakek saya keluar dari mobil, berteriak marah sambil mengepalkan tangan kanannya:
“Mudun!! Mudun koen!! Nek gak gelem mudun, tak gibengi siji-siji!!!” (turun!! Turun kamu! Kalau tidak mau turun, aku hajar kau satu persatu)
Tak sampai semenit, kerumunan pemuda itu, buyar! Berlompatan turun dari mobil. Beruntung tak ada satupun yang sempat merasakan kerasnya tinju kakek saya. Biar kurus kering begitu, kakek saya itu dulunya pendekar silat Pamur.
Keroyokan itu bukan pemberani!
Keroyokan itu gerombolan pengecut yang bersuara lantang tapi bernyali kecil!
Adik saya pernah bikin ulah.
Suatu kali, saya sedang menonton berita di televisi. Dan sekilas ada berita tentang suporter yang ricuh. Sebenarnya bukan berita baru dan biasanya saya cuek saja karena memang hobi penonton bola ya begitu, bikin gaduh.
Tapi ini kok sepertinya ada yang saya kenal?
“Maaaaaa, ini loh Nizam di gebukin Polisiiiiii!” teriak saya sambil menunjuk ke arah TV.
“Ah, nggak mungkin! Wong adikmu tadi mama kasih uang buat beli tiket kok!”
Sesampainya adik saya di rumah, dengan santai dia mengaku kalau tadi memang tidak membeli tiket, tapi ikut-ikutan kawannya menerobos masuk Stadion bola tanpa bayar.
“Buat apa???!!!” tanya Ibu saya gemas.
“Pengen tahu aja Ma, gimana rasanya di gebukin polisi,” ujarnya santai.
“Ya Allah Nakkkkkk… nek cuma pengen di kepruk’i ae mbok ngomong sama mama! Tak kepruk’i dewe koennnnn! (*silahkan diterjemahkan sendiri hihihihi)
Di Australia, saya kembali berhadap-hadapan dengan manusia penggila bola. Tapi kali ini bolanya lonjong dan aturan permainannya sama sekali berbeda. Adalah AFL alias Australian Football League yang diperkenalkan oleh Kurt (suami) pada saya sekitar Juni 2012 lalu.

Andrea saat itu masih 3 tahunan dan memang suka sekali bermain bola. Awalnya Suami saya cuek saja melihat dia sibuk bermain bola bundar kesana sini. Tapi lama-lama, jiwa Aussie-nya muncul.
“Andrea, Daddy ajarin kamu main footy yah. Kalau bola bundar begini, semua orang sih bisa nendangnya. Coba kamu latihan nendang pakai bola yang ini,” katanya sambil memberikan bola Football perdana yang berwarna ungu putih pada Andrea.
Ungu Putih itu warna khas tim Dockers, tim football dari Fremantle dimana suami saya dulu dibesarkan disana.
Dari yang biasa menendang bola bundar dan tiba-tiba berganti jadi bola lonjong, itu susahnya sama dengan kebiasaan sarapan gado-gado diganti makan roti panggang! Susaaahhh! Butuh adaptasi lamaaaa.
Tapi, bukan Andrea namanya kalau tidak ngotot untuk bisa 🙂
Andrea, sama seperti saya, suka tantangan.
Meskipun kedengarannya sepele, menendang bola, tapi butuh waktu seminggu penuh buat Andrea untuk bisa benar-benar “menendang”. Cara menendangnya bukan seperti bola bundar, tapi yang ini, bolanya di angkat dulu dengan kedua tangan, di lepas (bukan di lempar) dan kemudian ditendang. Momentumnya harus pas, kalau tidak, pasti hanya menendang udara.
Andrea sampai menangis saking frustasinya. Pernah saking kesalnya, bola itu di banting ke tanah, eh, malah memantul mengenai wajahnya sendiri. Nangisnya semakin keras deh!
Bola lonjong itu jatuhnya tidak bisa di prediksi akan memantul kemana. Itu yang bikin susah juga untuk mengontrol si bola lonjong.
Di hari ke-enam, Andrea masih saja tidak bisa menendang bola lonjong itu dengan baik. Baru di hari ke-tujuh, Andrea berhasil melambungkan bolanya dengan tendangan sempurna! Dia melonjak kegirangan! Kurt juga!
Sejak itu, Andrea jatuh cinta pada football-nya Australia!
Saat ini, Andrea sudah 8 tahun dan ikut klub Wanderers Busselton. Andrea jadi midfielder, pemain tengah. Kecil-kecil pedesnya amit. Biarpun paling kecil sendiri, Andrea selalu di pasang jadi pemain inti dan jadi kesayangan pelatihnya karena lincah, larinya paling kencang dan tendangannya kuat sekali. Cerita bolanya Andrea ini, nanti saya buatkan tulisan sendiri.

Aturan Football Australia ini ada banyak. Sama halnya dengan aturan bola bundar juga. di Australian footy, setiap bola yang masuk ke tengah gawang, dapat nilai 6. Tapi kalau masuk ke kanan/kiri gawang, dapat nilai 1.
Setiap pemain boleh mengambil bola dari lawannya dengan cara di tubruk, di rangkul dan dijatuhkan. Full body contact pokoknya! Saling tubruk, saling banting, saling jenggut dan saling adu jotos juga!

Anehnya, yang sering marah ya cuma para pemainnya. Saat kondisi permainan semakin tegang, emosi pemain pun meningkat. Yang namanya lihat pemain adu pukul, sudah biasa di sini. Penonton palingan cuma bersorak riuh.

Penonton AFL apa juga seabsurd penonton bola bundar???
Nah ini bedanya.
Penonton bola lonjong, tidak di bedakan mana kubu lawan, mana kawan. Semuanya duduk berjejeran. Duduk berdampingan meskipun beda tim. Mereka duduknya ya berdasarkan nomer tiket.
Wah bahaya dong?
Tidaklah! Penonton AFL ini sopan-sopan! Jarang ada yang misuh, jarang ada yang teriak-teriak memaki kubu lawan dan sama sekali tidak ada yang bawa batu, linggis, pentungan maupun senjata tajam lainnya.
“Ini pertandingan yang menonton semua kalangan. Dari mulai bayi sampai orang tua. Jadi ya tidak boleh berbuat anti sosial. Harus tahu dirilah! Lagian kita semua sudah dewasa. Masak gara-gara lihat bola saja sampai berkelahi?” kata Suami saya yang kemudian geleng-geleng kepala saat saya kasih tahu “lucunya” ulah suporter bola di tanah air.
Suami saya ini orangnya fanatik Dockers. Kalau melihat pertandingan, sering berteriak-teriak nyaring menyemangati timnya. Suaranya keras sekali bak singa terluka. “Freeeeeoooooooo….. Freeeeeeooooooooo”. Sampai malu saya di buatnya.
Tapi ya cuma begitu. Berteriak sampai parau menyemangati saja, tidak meneriakkan kata-kata makian.
Mengenai aturan menonton pertandingan, sepertinya ya sama di seluruh dunia. Dimana penonton harus punya tiket masuk dulu.
Untuk Australian Football, tiket masuk ke stadion berbentuk kartu yang harus dipindai (di scan) dengan alat khusus di pintu masuk. Jadi bukan berbentuk karcis yang gampang dipalsukan.
Semua barang bawaan di periksa. Gara-gara pemeriksaan itu juga yang bikin antrian menjadi panjang dan mengular di depan pintu masuk.
Pram atau kereta dorong bayi, ada tempat penitipan khusus dan tidak boleh di bawa masuk ke stadion karena bisa mengganggu lalu lalang orang. Jadi kalau bawa bayi, ya harus di gendong sendiri.
Tidak hanya anak kecil dan manula, para penyandang cacat juga banyak yang ikut menonton. Mereka biasanya dapat tempat paling belakang karena pakai kursi roda khusus yang ukurannya besar.
Ada layar besar terpampang di kanan kiri stadion, jadi yang matanya rabun seperti saya, bisa tahu, bolanya sedang ada dimana hehehe
Di deretan lain yang sejajar dengan layar, ada tulisan nomer telepon khusus, untuk melaporkan perilaku anti sosial saat pertandingan bola. Jadi, kalau ada penonton yang misuh-misuh dan mulai bikin onar, langsung telepon ke nomer itu dan langsung “di angkut” petugas yang berseliweran di stadion.
Tapi, selama saya menonton bola sejak tahun 2012 hingga sekarang, belum pernah saya melihat penonton yang di giring petugas. Cuma pernah suatu kali, suami saya menegur penonton di bagian belakang yang misuh terus memaki timnya yang keok. Kurt marah karena ada banyak anak-anak yang menonton tak jauh dari mereka.
“Bisa berhenti misuh nggak? Banyak anak disini tahu!!!” bentak Kurt. Dan seketika itu juga dia terdiam sampai pertandingan berakhir.
Ayah saya, yang bonek asli, pernah ikut menonton pertandingan Dockers di Perth. Ayah saya tertawa sambil berkata, “nonton bola gak boleh misuh rasanya kayak makan sayur kurang garam! Anyep!!”
Tapi ayah saya dengan jujur mengakui kedewasaan penonton Australia. Tertibnya luar biasa. Dari mulai sabar mengantri sampai sabar melihat kekalahan timnya. Tidak marah-marah. Tidak ada bakar-bakaran. Tidak ada yang adu jotos.
“Pertandingan yang seperti ini masih nggak bisalah kalau di pakai di Indonesia. Lah wong di Indonesia, wasit aja di banting! Opo meneh iki? Antara pemain saling tabrak-tabrak’an. Itu nanti penontonnya bisa saling pukul dari awal pertandingan sampai selesai! Lak tambah ajur…” kata ayah saya berusaha menganalisa.
Satu hal lagi yang bikin ayah saya terkagum-kagum, yaitu saat pulang.
“Loh, ini tadi penonton yang jumlahnya hampir lima puluh ribuan orang itu pada kemana??? Kok nggak macet???”
Ya pulang lah!
Ada yang naik mobil, naik bis, naik kereta. Macet? Ya tidak. Merambat sebentar memang iya. Tapi setelah masuk ke jalan bebas hambatan, ya lancar seperti tidak ada pertandingan.
“Kok bisa???” tanya ayah saya yang masih keheranan.
Tipsnya mudah saja: mereka tertib dan tidak ada yang saling berusaha mendahului.
Kalau di suruh memilih, saya pasti memilih menonton pertandingan bola di Indonesia! Terutama yang dari Jawa Timur. Saya kangen mendengar celoteh lucu dan lugas mereka. Saya kangen ingin tertawa melihat mereka misuh dan teriak yang aneh-aneh. Saya masih cinta gaduhnya suporter bola di tanah air.
Semoga penonton bola di tanah air bisa cepat dewasanya. Biar saya menontonnya bisa dengan hati gembira, tidak was was dan khawatir.
Kalah menang itu biasa. Hadapi dengan kepala dingin. Kompres dadamu dengan es! Biar tidak membara saat timmu kalah.
Salam olahraga!
Busselton, 6 Juni 2017. Pukul 14:40 waktu Perth.
Leave a Reply