Saat banyak kawan yang mulai tahu bahwa saya kuliah lagi, pertanyaan yang sama mulai muncul.

“Mau jadi apa?”

Jujur, saya bingung jawabnya. Memangnya kalau kuliah dan sekolah lagi harus jadi sesuatu ya? Jadi diri sendiri saja, tidak cukup????

Pernah saya jawab asal-asalan saking capeknya meladeni pertanyaan yang sama. “Ya jadi Nila lah! Mau jadi Luna Maya juga ndak pantes!”

Sekolah, kuliah, gelar dan pamer gelar. Yang seperti ini sepertinya lebih jamak daripada: sekolah, kuliah dan menyebarkan ilmu.

Pernah, saat saya merubah KTP, sesaat setelah menikah dengan Kurt Rogers, eh petugas Kecamatan memberi embel-embel gelar di belakang nama saya, jadi Nila Nurul Hidayati Sip.

Saya protes berat!

“Ibu bagaimana sih? Kok nama saya jadi ada gelarnya begini? Kan jadinya berbeda dengan nama di Paspor saya?”

“Loh mbak, biasanya orang yang sudah pernah kuliah, selalu nulis gelarnya dibelakang nama mereka,” terangnya.

Sayangnya, inisiatif si petugas bertabrakan dengan kemauan saya bahwa gelar kesarjanaan itu hanya pantasΒ  ditulis saat melamar kerja saja. TITIK!

Singkat cerita, KTP saya dirubah lagi. Kali ini hanya nama saya saja. Tanpa gelar. Enakan begitu. Lebih enteng memandangnya hehehe


Andrea, anak lelaki tertua saya, kebetulan dari TK hingga saat ini (Year 3), langganan dapat penghargaan.

Di Australia, memang tidak ada sistem rangking. Penghargaan paling sering diberikan berdasarkan perilaku mereka di sekolah. Ada puluhan penghargaan yang diterima Andrea. Itu kalau dijumlah dari mulai dia TK loh. Tapi, semuanya saya SEMBUNYIKAN dan saya tidak ingin Andrea tahu dan terus mengingat lembaran-lembaran penghargaan itu.

Pernah suatu kali, saya marah besar. Hanya karena kamar Andrea berantakan dan dia menolak untuk merapikannya saat itu juga. Saya, ibu galak, tidak mau dibantah!

“Andrea, MOMMY MARAH SEKALI! Kamu selalu berusaha jadi anak patuh kalau di sekolah. Berarti Kamu hanya mengejar penghargaan, iya kan? THAT’S A BAD ATTITUDE!!! Itu perilaku yang buruk! Mommy mau telpon sekolahmu besok pagi kalau kamu masih membantah perintah mommy, biar kamu selamanya tidak dikasih penghargaan! Buat apa penghargaan kalau yang kamu lakukan itu hanya biar dibilang sebagai anak yang baik!”

Beberapa menit kemudian, kamarnya rapi lagi.

Di Karatenya Andrea ada sistem award juga, merit badge namanya. Tapi yang menominasikan orang tuanya sendiri, lewat e-mail ke pelatih karatenya. Andrea sering saya nominasikan tapi pernah beberapa kali dia tidak mendapatkan merit badge karena menurut saya dia gagal berperilaku seperti itu.

Misalnya, Merit Badge HONESTY, Penghargaan Kejujuran. Andrea pernah bertanya kenapa dia tidak mendapatkan penghargaan itu? Saya jawab karena dia pernah berbohong sudah bermain Games di Ipadnya selama dua puluh menit lebih lama dari batas waktu yang sudah kita setujui.

Sebisa mungkin saya usahakan anak-anak saya menjadi pribadi yang JUJUR. Tidak mengejar sanjungan. Tidak mengejar penghargaan apalagi GELAR!

Semuanya butuh proses pastinya. Perlahan, serius menerapkannya biar hasilnya pasti πŸ™‚


Saya mengenal banyak kawan yang titelnya berderet-deret, tapi tidak paham caranya mengantri yang baik di pintu tol!

Saya kenal kawan yang selalu bangga dengan titel pulang beribadahnya dari negeri di Timur Tengah sana, tapi tidak paham bagaimana caranya menahan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan!

Saya kenal banyak kawan, yang tingkat keenceran otaknya di atas rata-rata dan memiliki gelar kesarjanaan yang mentereng, tapi gemar mengunjungi dukun karena ingin cepat kaya.

Di sisi lain, saya juga kenal baik seorang kawan yang memiliki ijasah SMP, tapi sopan dalam bertutur kata dan tidak alay saat berkomunikasi dengan saya lewat messenger Facebook. Sepertinya dia jauh lebih terdidik dari yang ngakunya mahasiswa/i tapi kalau ngobrol dengan saya alay sekali dan sama sekali tidak ada tata kramanya!

Saya kenal akrab dengan Mas Andri, seorang tuna netra lulusan SLB tapi tingkat kemandiriannya di atas rata-rata manusia normal lainnya. Bahkan, Mas Andri saat ini sedang berusaha untuk mencari bantuan agar dia bisa kuliah.

Saya dekat dengan seseorang yang berusia 78 tahun dan masih sibuk kursus ini itu demi mencari tambahan ilmu di hari tuanya. Dia adalah Judy Rogers, mertua saya.

Saya tidur dengan lelaki yang memiliki empat gelar kesarjanaan tapi lebih bahagia menjadi tukang reparasi pintu-jendela dan jadi petani. Orang itu, suami saya.

Saya dilahirkan oleh seorang wanita yang ijasah SMA saja tidak punya (belum sempat lulus sudah dinikahi ayah saya hehe), tapi cara berpikirnya jauh lebih luas daripada seorang Ibu yang bergelar Doktor tapi masih saja gagal move-on (hashtag Nyonya Ikan Paijo hihihihi). Wanita yang melahirkan saya itu, Ibu Atik πŸ™‚

Gelar, gelar, gelar, pamer, pamer, pamer. Kalau itu yang sering kalian lakukan, maaf, berarti kalian kurang terdidik.

Tidak sekolah, gelar minimalis, tapi banyak membantu masyarakat dan lingkungannya. Kalian manusia TERDIDIK dan SANGAT BERPENDIDIKAN.


Saya paham, bagaimana beratnya sistem pendidikan di Indonesia. Tapi mau bagaimana lagi kalau kalian memang harus tinggal disana.

Kalau saya jadi kalian, ya saya biarkan saja anak-anak saya belajar semampunya. Tapi tidak akan saya PAKSA untuk les tambahan ini itu. Biar saja mereka pulang sekolah lalu memanjat pohon jambu! Biar saja mereka pulang sekolah lalu tidur pulas! Biar saja mereka bermain sampai hitam biru kulitnya!

Yang sudah berat dari sekolah, saya rasa tidak adil bagi seorang anak jika masih dibebani ini itu lagi. KECUALI kalau si anak dengan suka hati melakukannya dan menurut saya, jaraaanggg sekali ada anak yang akan suka cita belajar lagi sepulang sekolah πŸ™‚

Saya sering berseloroh bahwa saya sangat beruntung tidak dilahirkan di jaman pendidikan serba ketat seperti sekarang ini. Wong sekolah dari jam 7 pagi pulang jam 12 siang saja saya sering bolos, apalagi pulang sampai sore??? Bisa bolos selamanya! Belum lagi dengan tingkat kesukaran ujiannya. Haduuuuhhhh, saya rasa saya bakalan tidak naik kelas berulang kali!


Tolong jangan labeli anak-anak kalian sebagai anak BODOH kalau hanya mereka tidak bisa membaca dan menulis dengan baik. Kalau hanya karena mata pelajaran mereka banyak angka merahnya. Jangan terlalu khawatir! Dengan bertambahnya usia, nanti mereka juga bisa sendiri kok. Ditunggu saja.

Tapi, mulailah khawatir saat anak anda pintar di sekolah, bintang kelas, tapi tidak bisa mengantri dan gemar membuang sampah sembarangan.

Mulailah was-was, saat anak anda tidak pernah berkata “maaf, permisi dan tolong”.

Mulailah CEMAS saat anak anda pintar sekali (secara akademis) tapi selalu menjelek-jelekkan kawannya yang tidak bisa berhitung dan membaca dengan baik.

Dan, MARAHLAH jika anda memergoki anak anda mengolok-olok anak lain yang kebetulan memiliki kekurangan baik itu kekurangan fisik, mental dan bahkan material.


Saat kali pertama Andrea datang ke Australia, Andrea sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Bahasa Indonesia juga masih berantakan. Saat itu usianya baru tiga tahunan.

Awalnya, ada tiga kata dalam Bahasa Inggris yang selalu di ulang-ulang sampai dia paham dan terbiasa mengucapkannya, yaitu: PLEASE, EXCUSE ME dan THANK YOU.

Kurt dan saya termasuk orang tua yang ketat untuk masalah perilaku. Cara berbicara dengan orang tua, cara makan, cara berkenalan, hingga cara bertanya, ada aturannya.

Awalnya, Andrea sering saya tegur keras karena punya kebiasaan menjengkelkan yaitu menyela pembicaraan. Biasanya saya yang sering di sela. Andrea sering tiba-tiba bertanya ini itu tanpa bilang permisi saat saya sedang berbicara dengan orang lain. Semakin dewasa, kebiasaan menyebalkan ini sedikit berkurang meskipun terkadang dilakukannya juga, saat dia lupa. Untungnya, dikasih acungan jari telunjuk saja dia sudah mingkem dan bersedia menunggu saya selesai bicara.

Sayangnya acungan jari telunjuk itu tidak berlaku bagi Indigo yang masih berusia 2,5 tahun. Indigo masih belum lancar berbicara. Dan jika saya dan Andrea sedang mengobrol serius, Indigo akan segera mencari perhatian dengan berteriak-teriak nyaring. Saya kasih acungan telunjuk, dia ikut mengacungkan telunjuknya juga. Saya kasih tahu untuk tidak berteriak, eh, suaranya semakin melengking! Akhirnya baru mingkem setelah saya bergegas ke dapur dan membawa Sendok Kayu besar, pura-pura akan memukul.


“Kamu cari yang bagaimana sih Sir? Bukannya yang kamu wawancarai datang dari Universitas ternama semua? Mereka pintar-pintar kan?” tanya saya keheranan melihat Direktur saya yang orang Perancis itu, kesulitan memilih seorang manager.

“Saya tidak cari orang pintar! Saya cari orang yang jujur!” tukasnya sambil merengut karena tidak satu kandidat-pun yang menurutnya “jujur”.

Ironis memang. Indonesia kaya akan Sumber Daya Manusia tapi kualitas mentalnya masih diragukan.

Gampang terprovokasi, malas mencari tahu sumber berita, mudah disulut dengan sentimen SARA, tidak menghargai perbedaan, memaksakan kehendak, maunya dapat uang banyak secara instan, memperhitungkan segala sesuatu dari sudut gengsi dan sederetan tingkah minus lainnya.

Saya anti Indonesia?

Heh, ngawur cangkemmu!

Saya ini CINTA INDONESIA makanya saya nulis seperti ini biar yang membaca sadar dan tidak lagi terbelenggu mengejar gelar demi gengsi!

Jangan minder kalau tidak kuliah. Jangan minder kalau tidak punya Ijasah SMA. Jangan malu kalau hanya sempat menamatkan sekolah SD.

Tapi malulah kalau tidak bisa jadi MANUSIA YANG BERGUNA.

Malulah saat kalian maling uang rakyat.

Malulah saat kalian memberikan janji-janji palsu biar dipilih jadi penjahat, eh, pejabat!


Saya berpendidikan?

Belum!

Karena saya secara akademis bukan murid yang cemerlang dan di dunia nyata-pun, saya belum melakukan banyak kebaikan juga. Misalnya, saya ini bisanya cuman nulis, belum melakukan tindakan berarti bagi Indonesia. Dan kalaupun ada satu tindakan yang nyata, minimal saya tidak mbuang sampah sembarangan.

Saya juga sering merasa bodoh karena setiap kali belajar sesuatu yang baru tapi ingatan akan ilmu itu kok cepat sekali menguapnya. Misalnya, masalah arah mata angin. Dari sejak lima tahun yang lalu, Kurt sudah mengajari saya, tapi sampai sekarang, saya hanya paham Barat dan Timur. Dan itupun kalau pas ada matahari! Kalau malam, ya sudah, buta arah!

Saya rendah diri dibandingkan Mbak Fitriah, pejuang Lingkungan dari Gresik yang nyata-nyata sudah berbuat baik demi Gresik dan Indonesia.

Saya belum berpendidikan.

Makanya saya sering membaca biar sedikit tahu beberapa hal.

Makanya saya sering ikutan organisasi ini itu (baik di Gresik maupun di Busselton) biar jaringan pertemanan saya luas dan bisa menyerap banyak aspirasi dari manusia hebat lainnya.

Tapi, meskipun secara akademis saya ini biasa-biasa saja, paling tidak saya jujur pada diri saya sendiri bahwa saya memang perlu banyak belajar dari kalian, dari pengalaman hidup kalian, dari pengalaman masa lalu saya dan terus belajar jadi manusia yang lebih baik.

Oleh karena itu, ajari saya cara hidupmu yang menawan.

Ajari saya caramu menjadi Ibu yang bijak yang tidak gampang mengayunkan sendok kayu (hehe).

Ajari saya menjadi pribadi dewasa.

Kita semua belajar dan berproses.

Mendidik, menjadi pribadi yang terdidik membutuhkan proses panjang, selamanya.

Salam Belajar!

Nila Rogers

Busselton 04 Mei 2017 Pukul 4:30pm waktu Perth.