Gresik, kota kelahiran saya yang sumpek.
Penuh polusi, macet, jalan yang bergeronjal, bergelombang, bolong sana sini dan banyak sampah.
Tapi saya dilahirkan di kota itu.
Tapi keluarga saya ada di kota itu.
Tapi kawan-kawan baik saya ada di kota itu.
Saya tidak akan membahas Gresik dan ikon kotanya. Bisa di google sendiri ada apa di Gresik. Yang mau saya ceritakan disini ya suka duka dan rindu saya pada kota yang pernah bikin saya disayat hingga berdarah-darah.
Nila kecil, lahir di RS Petrokimia Gresik.
Sebagai pasangan muda yang belum cukup uang untuk memiliki rumah sendiri, kedua orang tua saya, menumpang di rumah orang tua ibu saya di Komplek Semen Tubanan, Gresik.
Kebetulan lokasi rumah (alm.) kakek Soegiono Soepoyo, berdekatan dengan pabrik Semen Gresik yang di tahun 1980an, masih sangat aktif. Semburan debu hitam dari pembakaran batu bara, dan polusi udara lainnya, kerap menaburi tanaman mawar merah kesayangan (alm.) nenek Soekesi. Mawar merah itu jadi merah hitam abu.
Nila kecil, menghirup udara campur abu itu. Dan sakit.
Awalnya, ya batuk, muntah, panas dingin. Tapi tidak berhenti sakitnya.
“Kasur sampek bosok kabeh saking sering e mbok muntahi,” kenang ibu saya.
Dan karena penyakit itu tidak sembuh juga, saya kemudian di rujuk ke Dokter Spesialis alergi di Surabaya. Dengan alasan untuk mencari tahu dan tes alergi, si Dokter kemudian, menyayat punggung saya hingga berkali-kali, tanpa anestesi. Saya menangis, menjerit, meregang badan hingga hanya bisa terisak parau saking sakitnya. Ibu saya, yang saat itu kebagian tugas memegangi kaki saya, melemas lunglai, pingsan.
Hasil alergi keluar. Saya alergi Gresik!
Alergi udara, alergi rumput, alergi bulu binatang, alergi minyak goreng, alergi tungau, alergi keringat dan rentetan alergi lainnya yang jumlahnya ada puluhan.
“Anak ini harus dibawa keluar dari Gresik kalau Ibu dan Bapak ingin anaknya sembuh,” tegas si dokter.
Tentu saja orang tua saya tidak bisa!
Lah wong ayah saya saat itu baru diterima jadi Karyawan Petrokimia Gresik. Tidak ada biayalah!
Singkat cerita, saya tetap di Gresik. Tapi harus menelan ratusan obat dan menerima suntikan dua hari sekali di lengan kanan kiri demi melumpuhkan alergi saya. Seingat saya, obat-obatan dan suntikan itu saya terima hingga beberapa tahun lamanya.
Nila kecil, ringkih, kurus kering, dan penyakitan.
Gresik membawa penyakit, tapi Gresik juga yang memberikan penawarnya.

SIWALAN. Iya, buah ini yang kemudian menguatkan imun tubuh saya dan perlahan melumpuhkan alergi saya.
Mungkin selama dua tahun berturut-turut saya di jejali buah siwalan yang masih fresh. Sampai mual rasanya kalau mengingat buah ini lagi.
Tidak hanya buah Siwalan, saya juga di ikutkan renang untuk memperkuat paru-paru saya.
Nila kecil pun berenang bak ikan Nila beneran.
Dimana ada air, disitu ada Nila Kecil yang sibuk bergulingan seperti kecebong liar.
Saya masih ingat, saat desa Cerme dan Benjeng di landa banjir tahunan, dimana keluarga dari Nenek saya berkumpul disana, saya sering merengek untuk datang kesana. Alasan saya jelas: ingin berenang selamanya di air banjir!
Saya pernah menangis meraung gara-gara dibopong dan dibawa pergi oleh Mbah Di, paman Ibu saya, gara-gara saya menolak ikut mengungsi saat banjir mulai meninggi, hampir menenggelamkan desa Cerme.
“Ada banyak buaya disana! Renangnya nanti saja kalau buayanya sudah pergi!” kata Mbah Di sambil menaikkan saya di atas bahunya. Saya di bawa pergi saat sedang asyik-asyiknya bermain di atas gedebog pisang saat banjir menerjang.
Sayangnya, aktivitas berenang melalui salah satu klub renang di Gresik, dihentikan paksa oleh Ibu saya, saat saya duduk dibangku SMP.
“Kamu tambah hitam, mengkilat lagi! Siapa yang mau sama gadis ireng kileng-kileng?” tutur Ibu saya. Khawatir benar kalau saya tidak laku. Dan kelak, beliau tahu bahwa prediksinya itu salah besar! hehehe
Lulus kuliah dari UPN Jogja tahun 2003, setelah gagal mendapatkan ijin menjadi relawan penyelamat orang utan di Kalimantan, saya sempat minggat ke Jakarta.
Cuk, Ibu Kota memang benar kejam!!!
Saya harus bangun jam lima pagi dan pulang jam sepuluh malam gara-gara macetnya jalanan disana!
Saya hanya bertahan tiga bulan saja di Jakarta dan balik ke pangkuan tanah kelahiran, di Gresik lagi.
Dari 2003 hingga September 2011, saya di Gresik. Bekerja demi membantu Ibu yang sejak 1995, sudah menjadi orang tua tunggal. Iya, kedua orang tua saya bercerai sejak saya di kelas satu SMA.
Saat masih di Gresik, saya ya biasa-biasa saja dengan kota itu. Karena sibuk kerja dan jarang sekali ke “Gresik”. Hampir setiap akhir pekan, saya ke Surabaya, yang lokasinya hanya sejengkalan dari Gresik itu.
Gresik yang sebenarnya. Orang-orangnya. Uniknya Gresik, saya tidak tahu dan tidak perduli.
Hingga suatu saat, ‘panggilan’ itu datang. Di saat saya tidak lagi di Gresik.
Pertengahan 2012, saya dan Andrea F.C. Ramadhan, anak pertama saya, migrasi ke Busselton, kota kecil di negara bagian Australia Barat. Saya migrasi karena saya menikah dengan pria Australia, Kurt Rogers.
Dan, ‘panggilan’ ke Gresik itu datang.
Dari tahun 2012 hingga 2014, saya keguguran bayi hingga tiga kali. Profesi suami sebagai dokter hewan, berhenti mendadak karena kasus marmut (baca lengkapnya di kisah: MARMUT).
Saya limbung dan mulai dilanda kesedihan yang dalam. Saya di diagnosa depresi klinis.
Total ada empat psikolog yang saya temui. Dan tidak satupun yang membuahkan hasil. Saya masih saja sedih dan depresi.
Entah dimulai dari apa, saya kok iseng-iseng bergabung dengan komunitas GRESIK SUMPEK di Facebook. Dan dari situlah, depresi saya perlahan menyurut 🙂
Cerita khas Gresik’an dengan bahasa yang lugas dan konyol, bikin saya terbahak. Cara para anggota Gresik Sumpek posting pertanyaan dan jawaban asal njawab anggota lainnya, bikin saya terbahak juga.
Saya semakin terhanyut.
Hingga suatu hari, saya bisa menjembatani kawan-kawan dari Margaret River, Australia Barat, datang ke Gresik untuk ikut acara bersih-bersih Pantai Delegan (2015). Ada Jason dan Rob saat itu. Dan tahun berikutnya, Jason dan Rhys mengadakan school road show atau presentasi di beberapa sekolah di Gresik dan juga mengunjungi Bawean.
Dan, dari komunitas Gresik Sumpek ini juga, saya bertemu dengan banyak manusia hebat.
Kawan, saya semakin cinta pada Gresik.
“Ngapain juga sih kamu repot-repot ngurusin Gresik Sumpek? Mereka itu grup Bully! Membernya banyak yang bodoh. Bahasan warung kopi diangkat ke Facebook, jadinya berantakan. Komen-komennya banyak yang ngawur!” kata kawan saya dari Gresik, dengan sinis.
Dengan kalem saya jawab, “yang ngawur itu cuman segelintir. Secara mayoritas, mereka sudah bisa berpikiran dewasa kok. Dan, Gresik memang butuh dipandu biar mental membully itu bisa dikurangi.”
Saya tidak ambil pusing dengan mereka yang komen asal njeplak. Maklum, jumlah anggota di komunitas Gresik Sumpek itu ada ratusan ribu! Kita akan menghadapi banyak karakter dan cara berpikir yang berbeda-beda. Selama kita bisa membawa diri dengan baik dan bisa berdiskusi dengan baik, kenapa takut di bully?
Toh nanti pasukan anti-bully juga akan datang membantu 🙂
KOMUNITAS GRESIK SUMPEK
Jujur, saya berhutang banyak pada komunitas ini. Kenapa?
Karena tanpa komunitas Gresik Sumpek, saya tidak akan bisa kenal dengan banyaknya manusia hebat yang kemudian jadi kawan baik saya.
Berikut ini adalah mereka yang mendekat di ‘hati’ saya. Bukan berarti yang lainnya tidak loh! Mereka ini saya angkat karena keteguhan, kegigihan dan susah payahnya mereka dalam mengarungi hidup. Sosok inspirasi saya dan semoga kalian juga.

Mbak Fitriah namanya. Hitam manis, berkerudung tapi gesit sekali! Mungkin di tumitnya ada pegas tak terlihat yang selalu bikin dia berlompatan kesana kemari, dengan gembira. Mbak Fitriah ini asli Lampung, tapi cinta Gresik dan bersedia berpeluh keringat dan bekerja keras agar masyarakat Gresik paham akan sampah! Dalam kurun waktu LIMA TAHUN, mbak Fitriah bergerilya dengan modal pas-pasan untuk membuka Bank Sampah yang kini sudah melejit dan menjadi aspirasi daerah-daerah lainnya. Tulisan khusus mengenai Mbak Fitriah, akan saya terbitkan nanti dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Silahkan klik nama beliau di atas untuk mengetahui lebih lanjut sepak terjangnya di dunia persampahan! Srikandi Gresik!

Berikutnya, sosok laki-laki murah senyum. Mas Bambang Soeryanto Djupri namanya. Beliau ini juga inspirasi saya. Di tengah keterbatasan fisik (polio di kedua kaki), Mas Bambang masih semangat bergerak, menambah wawasan dan aktif berkegiatan sosial di Gresik. Mas Bambang ini saya ibaratkan perpustakaan-daerah berjalan, karena wawasannya yang luas dan level kedalaman cara berpikirnya yang luar biasa. Tampak luar, Mas Bambang memang membumi, mesam mesem saja, tapi lihat sorot matanya yang tegas! Kualitas semangatnya tidak pernah surut dan itu juga yang bikin saya malu hati karena saya masih sering mengeluh saat semangat saya jatuh. Love you Cak!

Manusia luar biasa berikutnya adalah Mas Andri. Yang ini benar-benar luar biasa. Kehilangan indera penglihatan di tahun 2005 gara-gara alergi obat flu, Mas Andri tidak lantas berpangku tangan dan berkeluh kesah seumur hidupnya. Mas Andri, bangkit dan berusaha keras menjadi pribadi yang mandiri. “Saya ingin sekali membantu dan bersedia memberikan bimbingan dan pengajaran pada tunanetra lainnya di Gresik agar mereka juga bisa mandiri dan tidak menjadi beban keluarga dan lingkungan sekitarnya,” jelasnya pada saya beberapa hari yang lalu via Messenger Facebook. Orang buta bisa main facebook?? Bisalah! Itu juga yang bikin postingan pembelaan saya viral di medsos gara-gara saya marah hebat melihat postingan Mas Andri di permainkan dan di ejek anggota Gresik Sumpek lainnya. Tipikal manusia otak udang, mengejek dahulu, cari tahu tidak mau! Tapi disitulah kehebatan Mas Andri. Omongan negatif tidak ditanggapinya. Beliau berlalu saja demi kehidupan yang layak bagi istrinya yang juga tuna netra dan anak balitanya (normal). Tulisan tentang Mas Andri nanti juga akan saya terbitkan di dua bahasa. Di tunggu 🙂
Selanjutnya, saya harus memberikan apresiasi khusus pada Suhu saya ini. Mas Teguh Abu Wafi 🙂 Karena tanpa beliau, saya tidak mungkin bisa punya blog hehehe Mas Teguh ini jagoan IT. Beliau sering saya ganggu saat saya stuck dengan aplikasi blog yang bikin saya goblok ini hehehe Mas Teguh juga yang menjadi tempat saya curhat jika ada anggota Gresik Sumpek bikin saya sedih. Mas Teguh adalah admin senior yang pernah kehilangan waktu gara-gara sibuk mengurusi Gresik Sumpek dari pagi hingga ke pagi lagi. Untungnya sekarang sudah ada belasan admin yang lumayan galak yang siap jadi relawan demi kemajuan Gresik lewat Gresik Sumpek. Salut Mas!

Yang ini baru saya kenal sebenarnya. Tapi kiprahnya untuk penyandang disabilitas di Gresik, patut di apresiasi. Namanya Mas Harfe Purbosandy. Nama Facebooknya, Marfe Sandy. “Saya malas nggantinya, mbak,” begitu alasannya saat saya tanya perbedaan huruf nama depannya itu. Mas Harfe adalah guru olah raga di SLB Cerme. Saya berinisiatif mengunjungi SLB Cerme setelah membaca postingan beliau di beranda Gresik Sumpek yang menampilkan deretan kerajinan Damar Kurung saat mereka mengadakan pameran di Royal Mall, Surabaya, beberapa minggu yang lalu. SLB Cerme adalah SLB pertama yang pernah saya kunjungi. Saya tercengang dan terharu melihat keceriaan anak didik disana. Dari yang tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, terlihat ceria semuanya. Saya juga bertemu dan mengobrol seru dengan ibu-ibu hebat yang kala itu sedang menunggui anak-anak mereka sekolah. Tanpa Mas Harfe, saya tidak mungkin bisa mendapatkan kesempatan dan kenangan indah di SLB. Tulisan khusus tentang SLB Cerme juga masih dalam pengerjaan. Nantinya akan saya munculkan dalam dua bahasa juga. Suwun nggih Mas Harfe atas kerjasamanya. Salam buat semuanya. Sampean iki ngganteng loh, mirip Zumi Zola!
Lanjut, ada pasangan kompak pemilik Kedai Sederhana Bebek Prima. Mas Andy dan Mbak Risdiana Permatasari, pemiliknya. Sudah seperti saudara sendiri rasanya. Saya selalu kangen masakan mereka, bukan hanya LEZAT, tapi juga karena persabahatan kita 🙂 Miss you all both!
Kawan berikutnya, dengan produk keset yang sudah masuk Australia adalah Mas Ragil alias Airlangga Bagas. Beliau ini intens sekali berkomunikasi dengan saya mengenai kerajinan tangan Gresik. Keset-kesetnya sudah dipakai beberapa orang Australia dan mendapat apresiasi juga karena kualitasnya yang bagus. Mas Ragil tidak patah semangat saat harus berbenturan dengan masalah modal, masalah rekanan, masalah ini itu, beliau maju terus dengan cara dan semangat kerjanya yang unik. Berani mencari celah dan berani bertanya. Itu kunci penting. Semangat Mas!

Kawan baru yang sedari awal sudah menarik perhatian saya karena cara berbusananya yang unik dan trendi adalah Mbak Pipi dan Mas Anton, pemilik toko jaket Habitues Habitues. Saya bertemu kali pertama tanggl 20 Maret 2017, saat ada kopdar Gresik Sumpek di Omah Damar. Tak dinyana, Mbak Pipi ini dulunya pengajar Bahasa Inggris di TK Jimbaran, Bali. Kami berdua punya kesamaan cara berpikir, terutama dalam hal mutu pendidikan di Indonesia, yang patut di pertanyakan ini. Nah, tanpa komunitas Gresik Sumpek, mana mungkin saya bisa berkenalan dengan pasangan keren ini? 🙂

Lagi, ada Mbak Agustini, penjual Wedang Pokak Bubuk khas Gresik yang produknya juga sudah masuk Australia 🙂 Tidak hanya pintar bikin wedang, Mbak Agustini ternyata juga aktif di kegiatan seni, terutama film. Salah satu film dari komunitas filmnya yang berjudul Kelas 5000an, berhasil meraih Piala Citra kategori Film Pendek di tahun 2010 (beritanya disini). Hebat yah mereka! Trailer filmnya juga bisa dilihat via chanel youtube dengan judul Kelas 5000an. Tinggal ditunggu saja kapan mereka mau bikin film tentang Gresik 🙂
Masih ada banyak lagi sebenarnya kawan-kawan baik yang saya kenal lewat komunitas Gresik Sumpek. Tapi kalau saya tulis semuanya, nanti bisa capai orang yang membacanya 🙂
Intinya, di komunitas apapun, tetaplah berpikiran positif. Karena dari kepositifan itulah nantinya akan diganjar dengan berkembangnya pertemanan dan persahabatan baru.
Gresik memang masih Sumpek.
Gresik memang masih butuh waktu panjang untuk bisa berbenah diri dan membenahi mental pemerintah dan juga masyarakatnya.
Gresik, seperti juga Indonesia pada umumnya, butuh waktu untuk berkembang menjadi bijak.
Kasih kesempatanlah!
Di bantu juga, jangan cuma dihujat!
Salam kangen selalu,
aku.
Busselton, 31 Maret 2017. Pukul 13:25 waktu Perth.
2 Pingback