Hati saya serasa terkoyak melihat beberapa postingan dari teman-teman di Facebook tentang video bullying. Rata-rata anak usia SD/SMP yang di keroyok dan digebuki beramai-ramai. Panas saya melihatnya!
Beruntung, saya tidak pernah di bully pas jaman masih sekolah dulu. Kalaupun pernah adu jotos, itu juga seringnya dengan saudara saya sendiri, yang memang ndableknya keliwatan! Hanya dua-tiga kali saja, saya menggampar kawan laki-laki yang menurut saya kurang ajar. Tapi mereka bukan bully! Hanya ndablek yang keliwatan saja dan memang layak di tampol!
Tapi, kalau melihat kawan adu jotos, ya sering! Tapi mereka satu lawan satu. Bukan satu lawan lima!
Adik saya dulu (tidak perlu disebutkan namanya yah, biar ndak ikutan ngetop kayak saya), biang rusuh di komplek perumahan saya. Tetangga-tetangga banyak yang mengeluh karena saking ndableknya dia. Tapi adik saya bukan bully! Hanya ndablek normal saja. 
Misalnya nih, membuang seluruh sandal ibu-ibu yang sedang arisan di rumah saya ke dalam… sumur tetangga!
Suatu kali, adik saya yang sering gelut dengan anak tetangga dekat rumah, tiba-tiba di ikutkan karate oleh ibu saya.
Wah, tetangga satu gang pada heboh! Protes berat!
“Anak nakalnya kayak gitu kok malah di ikutkan karate! Apa ndak malah menjadi-jadi nanti ndableknya?”
Ibu saya bergeming.
Adik saya tetap diikutkan karate, dimana saat itu adik saya masih berusia sekitar enam tahunan. Awalnya, adik saya ditolak oleh si pelatih karena usianya yang masih terlalu kecil. Tapi ibu saya memaksa. Dan akhirnya diterima.
Saya beberapa kali melihat adik saya latihan karate. Wah, sampai terkencing-kencing dia!
Bayangkan saja. Anak masih usia enam tahun, di suruh jungkir balik di lantai yang keras. Di suruh push up dengan mengepalkan tangan. Harus menahan tangis mendengar perintah ini itu dari si pelatih yang suaranya menggelegar. Adik saya paling kecil dan dikelilingi oleh anak-anak lain yang usianya jauuuh lebih tua.
Tapi perlahan, adik saya bisa menata diri dan ndak lagi pipis di celana karena ketakutan.
Sejak ikut karate, adik saya berhenti berkelahi.
Dia banyak mengalahnya.
Namun suatu kali, adik saya berkelahi lagi. Dengan anak yang sama. Adik saya dipukuli. Adik saya terus-terusan menangkis dan berusaha menutupi mukanya. Tapi karena sudah merasa kesakitan, akhirnya adik saya melawan.
Anak itu dipukulnya.
Sekali saja… dan langsung roboh!
Tetangga heboh!
Untungnya, adik saya dibela oleh kawan-kawannya.
Kerumunan anak-anak kecil itu menjelaskan kepada ibu si anak malang itu bahwa adik saya sudah berusaha tidak memukul dan malah dipukuli.
“Kamu kan tahu kalau ikut Karate itu bukan untuk berkelahi?” kecam ibu saya gemas.
“Tapi Ma, aku sudah ngalah, tapi masih terus dipukuli. Aku kesakitan Ma. Ya terus tak pukul anaknya.” jelas adik saya sambil menangis karena di cubit habis-habisan oleh ibu saya.
================================================
Ada yang berubah dari Andrea, anak sulung saya. Dia tidak lagi semangat untuk pergi ke sekolah. Padahal biasanya, saking senangnya sekolah, Andrea malah tidak suka liburan sekolah!
“Aku tidak suka anak itu Mummy. Dia nakal sekali. Aku sering di ancam mau dipukul,” tuturnya pelan sambil menunjuk sosok anak laki-laki yang sedang berjalan ke arahnya.
Hati saya terbakar!
Anak jelek itu saya pelototin sambil saya acungkan jari telunjuk saya ke arahnya.
Duh, pengen sekali saya jitak anak itu!
Andrea, berpostur mungil.
Kurus juga.
Jadi secara fisik, anak saya ini benar-benar kecil.
Banyak orang mengira bahwa dia masih berusia lima tahun (Andrea saat ini sudah berusia delapan tahun). Saya kalau membelikan baju buat Andrea, ya masuk ke area untuk anak usia lima tahunan.
Karena si anak jelek itu sudah berkali-kali bikin Andrea sedih, kasus itupun saya laporkan ke pihak sekolah. Dan, pihak sekolah pun memberikan respon dengan segera. Si anak jelek itu, dilarang keras mendekati Andrea lagi. Dan, saat jam makan siang atau jam istirahat, dia diwajibkan berada di ruang guru sampai jam istirahat berakhir.
Andrea belum pernah dipukul, hanya sering di ancam dan direndahkan.
Tapi itu cukup membuat saya marah. Benar-benar marah!
Seumur-umur saya belum pernah diperlakukan seperti itu saat sekolah, lah kok ini anak saya dibeginikan. Marah sekali, sampai saya susah tidur.
“Andrea, Mummy dulu tidak pernah dibully. Tidak pernah di ancam sama temen-temen Mummy. Pokoknya waktu sekolah dulu, tidak ada yang berani macem-macem sama Mummy,” tutur saya sedikit emosi.
“Kok bisa Ma?” tanya Andrea.

“Karena Mummy-mu itu Monster!” sahut suami saya cepat.

Bikin saya semakin kesal!
“Andrea, kamu harus belajar untuk KUAT dan TEGAS. Harus belajar membela diri kamu sendiri. Tidak perlu harus dengan fisik. Cukup dengan kata-kata saja. Kalau ada yang nakal, teriak, STOP! Kalau ada yang mengancam, teriak, STOP Doing that!” tegas saya.
Tapi, Andrea masih saja murung.
==========================================================
Hari senin itu adalah hari pertama saya mendatangi Dojo Busselton Martial Arts.
Setelah sebelumnya berkomunikasi via email dan SMS dengan si pemilik sekaligus pelatih, saya kemudian mengajak Andrea mendatangi Dojo itu.
IMG_4257
Busselton Martial Arts (saat Andrea masih sabuk oranye)
“Halo, perkenalkan nama saya Craig Crampton. Saya pelatih di sini. Nama kamu Andrea ya? Apa kabar? Selamat datang di Busselton Martial Art. Tempat latihan ini namanya Dojo. Silahkan sepatunya ditaruh di situ dan silahkan bergabung dengan kawan-kawan lainnya,” tutur Craig ramah.
Awalnya, Andrea masih malu-malu. Andrea masuk ke grup Samurai Karate untuk usia 6 – 9 tahun. Seperti biasa, Andrea paling mungil sendiri di grupnya.
Sambil menunggu murid-murid yang lain datang, murid yang sudah hadir duduk melingkar sambil memperkenalkan diri mereka masing-masing. 
Tak hanya itu, mereka juga diminta memberi tahu warna favorit mereka; mainan favorit mereka; makanan favorit mereka dan sebagainya.
Hi, my name is Andrea and my favorite color is gold,” ujar Andrea.
Saya bingung. Duh, mulai kapan anak saya ini suka yang blink-blink ya?
Ah sudahlah!
Pelajaran pun dimulai.
Tapi sebelum dimulai, Samurai Karate di bariskan sejajar.
Lalu, Shihan Craig memberikan aba-aba dalam bahasa Jepang agar mereka semua duduk bersimpuh.
andreapurplebelt
Saat kenaikan tingkat ke Sabuk Ungu. 
Aba-aba berikutnya, Samurai Karate diminta memejamkan mata, meditasi sejenak. Setelah itu, mereka semua membungkukkan badan sambil bersimpuh. Hampir mirip sujud tapi dahi mereka tidak sampai menempel ke lantai.
Semuanya dengan menggunakan bahasa Jepang yang kemudian di artikan ke Inggris.
Lalu, pemanasan. Ada berbagai macam pemanasan disini.
Misalnya, berlari dua kali berkeliling ruangan; berguling ke kanan kiri; push up; sit up; dan sebagainya. Semuanya dilakukan di atas lantai busa yang empuk.
Setelah itu, baru latihan Karate.
Latihan tendangan, latihan pukulan, latihan tangkisan.
Sebelum latihan berakhir, Samurai Karate diminta untuk duduk bersimpuh menghadap kepada Shihan Craig.
“Shihan ingin tahu, kira-kira hal apa yang tidak baik dilakukan pada saat disekolah?” tanya Shihan Craig.
“Buang sampah sembarangan! Mengompol! Nakal! Marah-marah sama teman! Memukul!” para murid Samurai Karate sibuk mengangkat tangan mereka, berebutan menjawab pertanyaan.
“Menjadi bully!” teriak Andrea.
Hati saya terkoyak lagi.
“Jawaban yang bagus. Apa yang kalian katakan tadi itu benar semua. Itu semua adalah hal-hal yang tidak baik. Jadi jangan dilakukan yah? Nah, tadi ada yang menjawab tentang bully. Untuk itu, Shihan nantinya akan mengajarkan kalian tentang teknik menangkal bully.”
===================================================
Ada berbagai teknik yang diajarkan Shihan Craig kepada anak-anak untuk menangkal Bully. Yang paling gampang, TERIAK!
Murid Samurai Karate, di ajak teriak-teriak, “No no no, Let Me Go” atau teriak “Don’t Do That!” atau teriak apa saja yang penting bisa menghentikan si Bully.
Kalau teriakan tidak berhasil, Shihan kemudian mengajarkan teknik melepaskan diri.
Cara melepaskan tangan saat di genggam keras.
Cara mendorong dan menangkis pukulan.
Setelah itu, LARI!
Lari????
Iya lari!!

Murid-murid sama sekali tidak diajari untuk berkelahi. Lari saja.

Tapi, kalau terkejar dan tetap dipukuli, baru, mereka diperbolehkan untuk MELAWAN.
“Kalau kalian sudah berusaha keras melepaskan diri, menjauh dari perkelahian, tapi tetap saja di pukuli, kalian boleh melawan. Dan kalau pihak sekolah keberatan dengan tindakan kalian, biar saya yang mendatangi sekolah kalian,” tegas Shihan Craig.
“Tapi ingat, cara paling baik adalah MENJAUHI PERKELAHIAN. Berkelahi adalah pilihan terakhir. Dan, kalau saya tahu ada satu diantara kalian yang menjadikan karate sebagai alat untuk menyakiti orang lain, akan saya keluarkan dari Dojo ini dan tidak akan bisa kembali lagi,” tegasnya.
“HAI!” jawab para Samurai Karate serempak.
===============================================

MENGHINDARI PENCULIKAN

Hampir di setiap latihan, murid-murid di suruh berlari menerjang dua orang (kakak pembina atau Senpai) yang memegangi busa persegi berukuran besar. Busa itu dibikin berhimpit, dan si murid harus berusaha keras menerjang keluar dari himpitan busa itu.
Gunanya apa?
Ini dimaksudkan, kalau si anak di hadang dua orang, mereka mampu dan paham bagaimana cara menerjang mereka.
Bisa diterjang langsung. Bisa juga dengan berlari kencang dan menerjang dari arah bawah.
“Ibaratnya, kalian sedang berada di lorong yang sempit dan ada dua orang yang menghadang kalian. Nah, kalian harus lari kencang dan menerjang mereka. Kalau tertangkap, teruslah berontak jangan berhenti. Teriak sekencang-kencangnya untuk menarik perhatian orang,” jelas Craig.
Tak hanya itu, mereka juga diajari cara memberontak ketika di angkat ke atas dengan cara mengibaskan kaki ke depan belakang dengan kuat. 
Cara membenturkan kepala ketika di rengkuh dari belakang, dan sebagainya.
Latihan-latihan seperti itu terus dilakukan secara berulang.
Dan yang paling penting, ketika menghadapi orang dewasa yang akan bermaksud jahat, seluruh murid dihimbau untuk BERTERIAK, MEMBERONTAK dan LARI.
“Tidak ada gunanya kalian berkelahi melawan orang dewasa. Kalian pasti kalah. Jadi tidak perlu berusaha untuk berkelahi, memberontak dan lari saja. Itu yang wajib kalian lakukan,” tutur Craig.
================================================
Ibu saya sering saja ajak untuk melihat Andrea latihan Karate.
Dan suatu kali, mata ibu saya basah.
“Loh, kok nangis Ma?” saya bingung.
“Mama cuma sedih, ingat anak-anak di Indonesia. Di sini, latihan karate kok diajari cara melindungi diri saat kebakaran? Apa hubungannya? Lah ini di ajari teriak-teriak biar ndak di culik? Adikmu dulu ikut karate ya cuman latihan mukul & nendang thok! Ndak ada yang kayak gini,” ujar ibu saya haru.
Itulah yang alpa dari sistem pendidikan di Indonesia.
Pendidikan mental dan pembentukan karakter, seakan-akan terlupakan. Mungkin harapan mereka (pemerintah & pihak sekolah), urusan pembenahan mental dan kualitas diri ya harusnya di ajarkan di rumah mereka masing-masing. 
Pihak sekolah, ya tahunya si murid bisa dapat nilai yang bagus.
Nilai… Angka… NOMER SATU.
Pembentukan karakter? Urusan belakangan!
Kembali ke masalah postingan video bullying di Indonesia. Harapan dan impian saya, pendidikan ilmu BELA DIRI bisa masuk ke kurikulum wajib untuk anak TK sampai SMA.
Dengan begitu, generasi muda bisa melindungi diri mereka dengan baik. Ilmu bela diri tidak melulu tentang tendangan, pukulan dan tangkisan saja. Tapi ada pembentukan karakter juga di dalamnya.
Semoga, suatu saat nanti, impian saya itu terwujud.
===============================================
**Andrea saat ini sudah sabuk coklat. Tahun depan (2018) naik menjadi sabuk hitam. Dari awal bergabung, saya tidak pernah menargetkan dia selalu lulus ujian karate. Yang penting Andrea berani dan percaya diri. Itu saja dulu. Urusan naik tingkat, hanya bonus sampingan.

Tulisan awal : Busselton, 12:20am 280915 (andrea masih berusia enam tahunan).
Di edit ulang tanggal 17 Maret 2017. Pukul 10:52 waktu Perth.