Pertanyaan yang sering saya dengar :

“Wah, ketemu sama suami di mana? Pasti di Bali ya.”

“Kok bisa nikah sama Bule? Nemu di mana? Memangnya orang Indonesia sudah nggak enak lagi yah?”

“Kok bisa dapat bule? Bagi resepnya dong? Enak nggak?”

Lalu, cerita yang sebenarnya bagaimana?

Ditipu Dulu

Saya ini orangnya tidak bisa sendiri. Bisa depresi kalau saya sendirian (baca: jomblo). Rekor jomblo terlama saya, tiga bulan.

Sekitar awal tahun 2011, di saat hubungan saya dengan mantan kekasih mulai di ambang kehancuran, saya pun bergegas mencari tempat tambatan hati lainnya.

Tidak dewasa memang. Disaat hati saya masih terikat pada mantan kekasih, saya malah melarikan hati saya yang sedang sakit ini pada lelaki lain. Pelampiasan.

Maka, pencarian pun dimulai.

Saya mendaftarkan diri pada situs kencan online internasional, internationalcupid.com.

Sebelum mulai, saya survei dulu. Saya ingin tahu bagaimana caranya menggaet pria asing.

Saya lihat, foto profil wanita Asia di situs itu, cantik-cantik dan seksi.

Hemmm, Saya tidak suka mengumbar tubuh saya yang memang tidak ada molek-moleknya ini. Lagipula, itu bukan kepribadian saya.

Jadi, saya putuskan untuk memasang foto saya yang sedang bergelayutan di jembatan satu tali di Hutan Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Di foto lainnya, saya pasang foto saya yang sedang jongkok, tersenyum, sambil memamerkan jam tangan macho saya.

Harapan saya, bule-bule yang liat profil saya bisa tahu (sedikit) karakter saya.

Tak lama, saya dapat pesan dari seseorang yang mengaku dari Inggris. Frank, namanya. Tapi saya lupa nama belakangnya.

Frank mengaku anak tunggal, orang kaya dan fotonya pun tampan.

Pujiannya berbuih.

Belum apa-apa, Frank sudah bilang sayang, cinta, rindu, kangen, dan sebagainya.

Sayangnya, saya yang waktu itu sedang “sakit jiwa” tidak bisa melihat dengan jernih maksud dari gombalannya tersebut.

Saya terbuai.

Hidung saya mekar dibuatnya.

Saya langsung jatuh hati.

Beruntung, saya yang sedang bergembira ria karena akan dinikahi orang Inggris, dengan bangga, meneruskan email-email dari Frank ke salah satu kawan dekat, yang menurut saya nasihatnya selalu jitu!

Saya butuh sarannya.

Tapi, balasan kawan saya bikin saya malu luar biasa.

Kawan saya tertawa terbahak-bahak. Dengan kejam dia bilang bahwa Frank adalah scammer dan saya sudah berhasil di bodohi!

Sebagai bukti, kawan saya ini mencantumkan beberapa link scammer yang bahasanya memang sama persis dengan Frank.

Saya lunglai.

Gagal sudah jadi bini bule.

Tak lama, saya dapat pesan masuk dari orang Inggris lagi. Namanya saya samarkan saja, karena dia ada di daftar pertemanan saya di Facebook. Panggilan kesayangan saya pada dia adalah Caveman, karena foto kamarnya benar-benar mirip gua. Mungkin dia ini salah satu penggemar Ki Joko Bodo.

Kali ini Caveman bukan scammer. Dia nyata.

Kami pun berteman. Caveman adalah seorang linguist alias ahli bahasa. Dia fasih tujuh bahasa asing!

Wajahnya, tidak ganteng, tapi “lelaki” sekali.

Singkat cerita, kami berdua saling jatuh cinta.

Saya pun mulai membuat rencana kunjungan Caveman ke Gresik. Untuk bertemu muka secara langsung dengan saya, anak saya dan keluarga saya.

Sayangnya, saya diselingkuhi.

Dimasa penantian saya akan kedatangannya, tiba-tiba Caveman berkirim kabar bahwa dia jatuh cinta dengan kawan barunya dari Jerman.

Saya menangis. Sakit hati.

Saya pun kembali pada mantan pacar saya yang orang Indonesia itu, demi mengobati rasa sakit hati saya.

Dan, Si Kucing Itu Pun Tiba

Gundah hati saya tak terobati juga.

Kembali ke mantan pacar, sama sekali tak membuat gundah hati saya membaik. Karena saat itu saya benar-benar ingin bersuami dan menikah lagi. Dan, mantan pacar saya itu tak bisa menikahi saya.

Lalu, saya dapat pesan dari Kurt Alexander Rogers.

Saya cuek.

Eh tapi, ada yang menarik dari profilnya.

Dia tulis, “Mencari Wanita Indonesia”.

Hemmm, ada apa gerangan dengan wanita Indonesia?

Pesan pertama Kurt, sama sekali tak berbuih. Sederhana saja. Tak ada rayuan. Kurt menjelaskan tentang kepribadiannya yang menurut dia, absurd. Tentang pekerjaannya sebagai dokter hewan. Tentang hobinya surfing. Tentang anak tunggalnya. Dan sebagainya.

Saya pun membalas pesan itu. Singkat saja, karena saya masih sakit hati dengan bule.

Eh, Kurt kembali membalas pesan saya. Kali ini cukup panjang. Dan, yangmembuat saya terkesima. Kurt dengan gamblang bercerita tentang mantan-mantan pacarnya. Tentang anaknya yang didapatnya dari mantan pacarnya waktu kuliah. Tentang impian pernikahannya.

Panjaaaang sekali.

Saya terkesiap.

Baru kali ini saya mengenal orang dalam jangka waktu kurang dari satu hari, tapi dia berani membuka tabirnya selebar ini.

Tak hanya cerita, Kurt juga mengirimkan foto-foto mantan pacarnya pada saya.

Lah, buat apa coba?

Tentu saja saya jadi minder.

Salah satu mantannya yang orang Australia itu, cantiknya minta ampun. Tingginya hampir 180cm. Kulit putih, berambut gelap, bermata besar, hidung mancung, dan buah dadanya…. Besar sekali!

Mantan lainnya yang dari Jakarta, luar biasa cantiknya! Mirip foto model! Jabatannya cukup tinggi di salah satu provider telepon selular ternama di Indonesia dan tentu saja dia pintar sekali.

Mantannya yang terakhir, orang Malang. Lumayan cantik, seksinya minta ampun, seorang direktris dan kaya raya.

Sedangkan saya?

Wajah? Pas-pasan saja.

Pas mood saya lagi baik, yah, lumayan manis lah.

Tapi pas mood saya berantakan? Wajah saya bak pembunuh berdarah dingin!

Seksi?

Wah, ini yang gawat!

Bagian depan, rata.

Bagian belakang, rata juga!

Pintar?

Kalau saat ini saya sudah menuntaskan sebuah buku, coba tanya ke saya sekitar seminggu kemudian. Pasti saya kebingungan menggali detail cerita dari buku yang baru seminggu saya baca itu.

Memori saya lemah. Saya sempat menyalahkan ibu saya gara-gara beliau mengaku saat saya sedang dalam kandungan, ibu saya kurang nutrisi. Ibu saya tidak suka minum susu. Saat saya sedang di kandung, ibu saya kehilangan selera makan dan hanya selera dengan pisang rebus.

“Wah, pantesan memoriku kok kendor Ma. Lah wong mama pas hamil dulu doyannya Gedhang Godhok!” tukas saya.

Tapi, Kurt bergeming.

Dia benar-benar tertarik dengan saya. Entah tertarik apanya.

Dan, hubungan kami pun berlanjut. Semakin mendekat.

Di hari pertama kami berbalas email, Kurt bertanya tentang tanggal lahir saya, jam lahir dan lokasi saya di lahirkan. Kebetulan, Kurt mendalami astrologi. Dia melakukan perhitungan matematika yang rumit dan menghitung pergerakan bulan untuk mengetahui kecocokan antar pasangan.

Hasilnya, dia tahu persis watak saya. Baik buruknya saya.

Curang!

Saya kan tidak paham astrologi dan sampai sekarang tidak pernah hafal zodiak. Kapasitas otak saya tidak mampu menampung informasi sebanyak itu.

Jadi, Kurt tahu saya dan saya buta tentang dia.

Tiga hari setelah komunikasi via email, Kurt melamar saya!

Saya gemetaran!

Takut, bahagia, cemas, senang, terkejut, suka cita, bercampur jadi satu.

Singkat cerita, hubungan kami semakin dekat. Saya tidak mengiyakan lamarannya, karena saya sama sekali tidak mengenal dia.

Saya tidak setolol itu. Tidak mungkin saya dengan serta merta menerima lamaran via email dari orang asing yang tidak saya kenal, tidak pernah bertemu muka dan tidak tahu baunya seperti apa!

Hidung Terpercaya

Saat lahir hingga umur dua tahun, saya tinggal di perumahan Semen Gresik, di komplek Tubanan . Tumbuh di lingkungan perumahan bukan berarti saya berada di lokasi yang sehat. Rumah yang kami tempati berdekatan dengan Pabrik Semen Gresik yang saat itu masih aktif (saya lahir tahun 1980).

Polusinya luar biasa kejam.

Saya pun tumbuh sebagai bayi yang penyakitan.

Saya alergi debu, alergi bulu binatang, alergi minyak goreng, alergi bunga rumput dan alergi KERINGAT.

Tapi Saya sudah sembuh kok.

Hanya saja, hidung saya masih sensitif dengan bau keringat.

Dan untuk urusan asmara, saya awalnya belum sadar akan keahlian hidung saya ini dalam menentukan pasangan.

Saat itu, saya lebih percaya pada mata saya yang jelas-jelas tidak bisa diandalkan.

Kenapa?

Karena mata saya ini rabun jauh, miopi dan juga silindris.

Dari jarak lima meter, saya tidak bisa membedakan orang ini ganteng apa jelek.

Nah, masak yang begini ini diandalkan?

Mata saya juga plin plan!

Saat saya masih Alay, mata saya suka dengan orang-orang Asia. Ini gara-garanya, dulu saya sempat mengikuti serial F4. Untungnya, mata saya bertobat dari Koreanisme semenjak  serial itu berakhir.

Saat saya aktif nge-band, mata saya suka dengan pria-pria kurus, pandai bermain alat musik dan rambutnya berpotongan Britpop.

Saat saya memasuki dunia kerja, mata saya suka dengan orang kantoran yang perlente, ganteng dan harum.

Setelah saya bercerai dari suami pertama saya, mata saya suka dengan pria dewasa (baca: pria berumur) yang berambut keperakan dan pintar.

Nah, plin plan sekali bukan?

Tapi, hidung saya tidak pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang, hidung saya tetap selektif dan hanya menyukai beberapa lelaki yang memiliki bau tubuh yang pas.

Hanya Tuhan dan Ibu saya saja yang tahu mantan pacar saya ada berapa.Tapi pastinya, sejak awal pacar-pacaran, nikah, cerai dan nikah lagi, hanya TIGA lelaki yang bau tubuhnya di amini oleh hidung saya.

Dan benar saja, ketiga lelaki itu benar-benar paling berkesan dalam hidup saya dan saya benar-benar bertekuk lutut dibuatnya.

Yang pertama, adalah mantan saya waktu kuliah, yang saya pacari selama hampir lima tahun. Aroma tubuhnya indah sekali. Sama sekali tak berbau!

Yang kedua, mantan pacar saya yang sudah berumur itu. Sama dengan yang sebelumnya. Aroma tubuhnya tak tercium.

Dan, saat kali pertama saya bertemu dengan Kurt, saat itu Bali sedang gerah-gerahnya. Panas sekali. Kurt datang dengan badan penuh keringat, karena tak tahan dengan kelembapan dan cuaca panas saat itu.

Kami bertemu muka pertama kali di Bandara Ngurah Rai yang penuh sesak, pengap dan panas.

Dengan badan yang basah akan peluh, saya dipeluknya erat.

Hidung saya menempel pas di bagian samping lehernya yang basah oleh keringat! Dan, hidung saya tak mencium aroma apapun disana!

Dan, lelaki ketiga itu adalah KURT. Suami saya yang sekarang dan semoga saja yang terakhir.

Capek saya kalau harus mengendus-endus lagi!

Insting Andrea

Perjalanan kami pun berlanjut. Setelah hidung saya menyetujui aromanya, Kurt harus di uji lagi untuk bisa menjadi pasangan hidup saya.

Kali ini, Kurt harus lulus tes melawan bocah umur tiga tahun.

Awalnya, Kurt dan Andrea (anak dari pernikahan pertama saya) hanya bertatap muka melalui media Skype.

Melalui Skype, Andrea yang saat itu sama sekali tak paham bahasa Inggris, hanya bisa pamer jumpalitannya, pamer mainan, pamer gerakan dance paling anyar, pamer ketawanya, dan sebagainya.

Waktu itu, Kurt masih dipanggilnya Papa Kurt.

Juni 2011, Kurt datang ke Surabaya.

Andrea, yang sama sekali belum pernah bertemu Kurt secara langsung, bisa dengan segera, mengembangkan kedua tangannya, berlari dan melompat ke pelukan Kurt.

Saya terhenyak!

Baru ini Andrea bisa secepat itu dekat dengan orang baru. Bule lagi!

Padahal biasanya, Andrea harus saya ancam dulu untuk bersedia kenalan dan bersedia di gendong oleh kawan-kawan saya (baca: mantan-mantan pacar saya).

Saya percaya akan mata batin Andrea.

Saya percaya, matanya yang masih jernih (tidak rabun ayam seperti mata saya), bisa melihat jelas kebaikan hati bakal calon pasangan saya ini.

Kurt juga tidak merayu Andrea untuk dekat dengannya.

Tidak dibelikan mainan.

Tidak di gendong-gendong dan berbicara bak bayi.

Kurt bertindak sewajarnya saja di hadapan Andrea.

Malah, kalau Andrea mulai bertingkah laku bak Monyet liar, Kurt tak segan menegurnya. Padahal Kurt baru datang dan baru ketemu Andrea loh!

Jadi, Kurt lulus ujian kedua!

Restu Orang Tua

Andrea dan Kurt semakin dekat.

Mereka berdua sering bergandengan tangan.

Kami jadi seperti truk gandeng yang sambung menyambung.

Tangan kiri kurt menggandeng tangan saya, dan yang kanan, di gandeng Andrea. Kemana-mana seperti itu.

Di saat acara makan siang bersama keluarga saya, Kurt meminta bantuan adik lelaki saya untuk menerjemahkan niat lamarannya pada ayah saya.

Eh, dasarnya ayah saya ini “Yes Man”. Siapa saja yang melamar anaknya dan anaknya suka, pasti di jawab “Yes”.

Jadi sebenarnya, ayah saya tidak terlalu memasang ujian bagi Kurt.

Tapi tidak begitu dengan Ibu saya.

Ibu saya tak begitu menggubris keinginan saya dan Kurt yang ingin segera menikah. Menurut ibu saya, kami terlalu terburu-buru.

Ibu saya tahu benar penyakit “gampang” jatuh cinta saya dan penyakit“terburu-buru” saya.

Selain itu, Ibu saya juga tidak siap jika harus berpisah dengan cucu semata wayangnya, Andrea.

“Untuk yang ini aku serius kok Ma. Orangnya baik. Slenge’an sih, tapi hatinya baik. Ganteng pisan Ma. Mama apa nggak pengen punya cucu indo?” rayu saya di depan ibu dan ayah saya.

Ibu saya melengos!

Ayah saya tersenyum simpul.

Sebelum ijin menikahnya diturunkan, ibu saya menarik Kurt untuk duduk berhadapan dengan dia. Saya jadi penerjemah.

Sambil terisak, Ibu saya mewanti-wanti ini dan itu kepada Kurt untuk memperlakukan saya dengan sebaik-baiknya.

Tentu saja Kurt setuju.

Undangan Panjang

Singkat cerita, saya kali pertama berkomunikasi dengan Kurt via situs online dating tanggal 17 April 2011 dan menikah di tanggal 07 September 2011.

Jadi, silahkan di hitung sendiri, saya sudah kenalan berapa lama hingga akhirnya kami menikah.

Kami sepakat menikah di bulan September. Tidak ada alasan pastinya mengapa. Yang pasti, Kurt beranggapan lebih cepat lebih baik.

Kami pun mulai sibuk.

Saya sibuk mengatur rencana pernikahan kami di Bali. Pilihan tempatnya. Menunya. Isi acaranya.

Saya sibuk dengan birokrasi berbelit untuk mengurus dokumen pernikahan dengan orang asing.

Saya sibuk beres-beres pekerjaan di kantor, sebelum kemudian mengundurkan diri.

Saya sibuk mengorganisir anggota keluarga dan kawan-kawan saya yang akan datang ke Bali.

Saya sibuk menata jadwal kedatangan pihak keluarga Kurt dari Australia. Menata hotel mereka dan penjemputannya.

Lalu Kurt sibuk apa?

Dia sibuk cari uang dong! Hahaha!

Dan Kurt juga sibuk membuat undangan.

Undangan?

Iya undangan pernikahan!

Kalau di Indonesia, lazimnya undangan pernikahan dipilih oleh pasangan dan dicetak dikertas undangan yang bersampul indah dengan pernak pernik khas pernikahan.

Kalau kami tidak!

Yang saya nikahi kan orang yang TIDAK LAZIM. Jadi ya jangan heran kalau undangan yang dibuat juga absurd.

Sederhana saja.

Kurt mengetik undangan di kertas HVS ukuran A4. Dilengkapi foto-foto tentunya. Sama sekali tidak romantis. Tidak ada hiasan bunga-bunga ataupun foto pra-wedding.

Istimewanya, undangan tersebut ada DELAPAN LEMBAR!

Dan, 99% isi undangan pernikahan itu bercerita tentang SAYA!

Yang 1% berisi tentang jadwal dan lokasi pernikahan.

Kurt sengaja menyembunyikan undangan tersebut dari saya.

Buat kejutan, begitu katanya.

Lalu, Kurt dapat informasi tentang saya darimana?

Ya dari saya lah!

Awalnya, saya tidak sadar kalau sedang di wawancarai.

Kurt halus saja bertanya tentang ini itu. Tentang pengalaman saya. Tentang hobi saya. Tentang sesuatu yang tidak saya gemari dan yang paling saya sukai. Tentang masa lalu saya. Tentang semuanya.

Ya, Kurt ingin tahu semuanya.

Buihan informasi dari saya tersebut disimpannya rapi di memori otaknya. Kurt otaknya encer, makanya dia bisa ingat segala celoteh saya.

Sedangkan saya, Kurt harus mengulang cerita, dua hingga tiga kali karena saya LUPA.

Lalu buat apa Kurt buat undangan sepanjang itu?

Kurt beralasan bahwa banyak orang Australia yang masih berpandangan negatif jika ada pria Australia yang menikahi wanita Asia.

Mereka beranggapan, wanita-wanita Asia mencari pria bule karena mereka ingin mengerek tingkat ekonomi mereka. Demi uang.

Kurt tidak rela jika ada kawan atau keluarganya yang meremehkan saya hanya karena saya orang Asia (baca: Indonesia). Karena dia tahu betul saya bukan tipe wanita yang bisa dibahagiakan dengan uang, dengan perhiasan, dengan dunia.

Kurt tahu, saya wanita sederhana, yang hanya mengejar kenyamanan hati pada cinta abadi (pret!).

Jadi, di undangan tersebut, Kurt mengupas kepribadian saya.

Saya yang petualang.

Saya yang gampangan (gampang tertawa, gampang menangis, gampang marah).

Saya yang anti perhiasan berkilauan.

Saya yang suka musik cadas tapi tidak kuat minum alkohol.

Saya yang protektif sekali pada Andrea, anak semata wayang saya (saat itu masih semata wayang).

Saya yang dibilangnya buta, karena jatuh cinta pada dirinya yang 19 tahun lebih tua.

Buka Karung

Lalu, setelah menikah bagaimana?

Ya secara perlahan, karung penutup si kucing mulai terbuka.

Saya jadi tahu Kurt itu model kucing angora, kucing siam, kucing Persia, kucing kampung, atau kucing GARONG?

Lantas, dia kucing yang bagaimana?

Kurt itu saya ibaratkan bak ANAK KUCING!

Untuk jelasnya, nanti saja yah!

Kalau saya lagi enak hati, akan saya turunkan lagi tulisan saya selanjutnya tentang pernik kehidupan cinta saya di Australia, bersama dengan suami unik saya, Kurt.

Busselton, 14th January 2014, 05.07 pm.