Ini lanjutan cerita saya tentang hidup DIY (Do It Yourself) di Australia. Yang belum sempat baca bisa dilihat disini.

Suatu kali, ada diskon besar-besaran untuk produk sepeda. Kami pun segera ke Bunbury, kota sebelah untuk membelinya. Kita beli di K-Mart supermarket. Empat sepeda langsung kami beli. Sekedar persiapan saat rombongan keluarga dari Perth datang ke Busselton, jadi kita semua bisa bersepeda ria.

Singkat cerita, setelah di bayar, keempat sepeda itu bisa diambil di gudang belakang K-Mart. Kami menurut, ke parkiran ambil mobil dan menuju gudang belakang. Sesampainya disana, garasi dibuka dan ada empat boks besar ukuran persegi panjang, tergeletak di sana. Siap diangkut.

“Loh, petugasnya mana ini? Kok ndak ada yang bantu angkat?”tanya saya heran saat melihat suami saya sudah naik ke atap mobil, menyiapkan tali untuk mengikat sepeda.

Ya ndak ada lah! Diangkat sendiri! Ayo bantu!” teriak suami saya dari atas mobil.

Saya ngomel panjang pendek. Gimana sih! Beli sepeda empat loh! Mbok ya di bantu angkat kek! Dibantu bawa sepeda ke atas mobil kek! Ini cuman ditunjukin tempat sepedanya, trus ditinggal! Semprul!

Kejadian berikutnya malah bikin ibu saya yang ngomel. Suatu kali, saat saya sedang hamil besar, saya ajak ibu saya beli kursi bayi untuk mobil (baby car seat).

Endi iki wonge kok ga onok sing bantu angkat? Kardusnya besar ini loh!” kata ibu saya sambil celingak celinguk mencari staff toko.

Sambil tersenyum saya menjelaskan bahwa semuanya di Australia ini dilakukan sendiri.

“Tapi ini kardusnya kan buesar! Berat lagi!” nada ibu saya mulai meninggi.

“Makanya diangkut pake troli Maaaa,” kata saya cuek sambil mendorong troli yang isinya kardus super besar beserta kursi bayi di dalamnya.

Ini kalau ada trolinya loh! Dan kalau kita parkir mobilnya di dekat toko. Bagaimana kalau jauh? Ya dipanggul! Eh beneran ini! Sudah terjadi loh!

Saat ke Melbourne untuk menjemput mobil baru, kami terpaksa harus membeli kursi bayi karena peraturan disini, bayi sampai anak usia 7 tahun harus duduk di kursi khusus.

Di Melbourne, kami berjalan kesana kemari mencari kursi bayi. Ketemu! Lokasinya ada di pertokoan di sekitaran China Town. Tapi eh, mobil kita di parkir sekitar tiga kilometer dari lokasi. Gimana ini?

“Ya mau gimana lagi, ya diangkat, dipanggul!” kata suami saya cuek sambil memanggul kardus buesar berisi kursi bayi dan berjalan sekitar tiga kilo menuju mobil. Cik soro eeee!

PENYANDANG DISABILITAS DAN MANULA

Kalau orang tua dan orang cacat bagaimana?

Sama saja.

Para manula dan penyandang disabilitas, selama mereka masih bisa “bergerak” ya harus melayani diri mereka sendiri.

Ibu saya, saat kali pertama ke Australia, sampai tertegun beberapa menit demi melihat nenek tua yang renta, duduk di kendaraan-manula (elderly mobility vehicle) dan belanja sendiri ke supermarket. Si nenek ini badannya doyong ke samping, bungkuk dan bergerak perlahan seperti siput dengan kendaraannya. Perkiraan saya, usianya mungkin sudah di atas 80. Tak sedikit orang-orang disana yang membantu si nenek mengambilkan beberapa barang yang letaknya tidak terjangkau oleh tangannya. Tapi tetap saja, si nenek ya harus bawa belanjaannya sendiri ke rumahnya.

“Mbah itu pulang sendiri ke rumahnya?” tanya ibu saya dengan nada khawatir.

“Ya iya Ma. Aku tahu kok rumahnya. Deket sini. Ya kalau naek kendaraan itu, bisa sekitar dua puluh menitan. Lah wong nyetirnya pelan banget gitu,” terang saya.

“Ya Allah… Anak’e nang endi tho? Cik tego e!” sergah ibu saya lagi masih khawatir.

“Anaknya jauh-jauh semua. Ya kalau nunggu anaknya dateng yo selak keluwen Ma,” tukas saya.

mobility_trends_elderly_58906
Sumber foto: http://www.allianz.com/en/about_us/open-knowledge/topics/mobility/articles

Orang barat sudah biasa mandiri. Mau sudah jadi manula pun ya diharapkan bisa mengatur hidupnya sendiri.

Saya ada kawan, Nyonya Hicza namanya dan usianya sudah di atas 70. Rumahnya di Perth. Propertinya luas. Tanahnya mungkin di atas lima hektaran. Dia hidup seorang diri dan hanya di temani empat anjingnya. Nyonya Hicza masih mampu membelah kayu sendiri, meskipun dengan perlahan. Masih mampu mengurusi kebunnya sendiri. Keluarganya mana? Ada, di Inggris. Anak? Di Australia Selatan, jauh!

Segala kebutuhan hidup, di urusinya sendiri. Hanya saja, karena kesehatannya memburuk, tahun lalu, Nyonya Hicza harus sering dicek petugas sosial, untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja.

Ini untuk manula yang masih bisa berkomunikasi loh. Yang tidak sempat menghubungi siapapun bagaimana?

Ada sepasang suami istri dimana si suami ini mengalami dementia berat. Istrinya yang juga sudah tua, menjadi perawat satu-satunya. Anak-anak mereka jauh semua. Suatu kali, mungkin karena kelelahan, si istri ini jatuh dan tidak bisa bergerak. Suaminya yang dementia ini tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa. Istrinya ini dibiarkan saja. Dilewati saja seperti tidak terjadi apa-apa. Wanita malang ini tergeletak tak berdaya selama hampir TIGA HARI dan baru ketahuan setelah didatangi petugas sosial yang rutin mengecek mereka seminggu sekali.

Untungnya, si ibu itu selamat tapi harus di rawat di Rumah Sakit. Dan suaminya yang dementia mau tidak mau harus di taruh di panti jompo.

Itu tadi kisah nyata orang tua kawan saya. Orang tuanya tinggal di Tasmania sedangkan anak-anaknya di Australia Barat. Jauuuuhhhhh!

Kisah selanjutnya lebih berbahaya daripada ibu-ibu riting kanan tapi belok kiri:

Ibu kawan saya, meninggal mendadak karena kecelakaan mobil. Ibunya yang sudah hampir 90 tahun itu, ngotot untuk tetap menyetir sendirian karena tidak suka dibantu. Suatu hari, karena sudah jompo dan entah sedang mikir apa, ibu tua ini menyetir ke arah yang berlawanan dan tertabrak oleh mobil lain. Ibu ini meninggal ditempat! Yang menabrak masih muda dan bakalan trauma seumur hidup gara-gara masalah itu.

—————

Suatu kali, Ayah saya melihat wanita buta yang berjalan dituntun anjingnya. Ayah saya berdecak kagum.

“Hebat ya, meskipun buta masih mampu kemana-mana sendiri, dituntun anjing,”.

article-2240454-1644e8d8000005dc-105_634x422
Kisah hebat tuna netra di ilustrasi ini bisa dibaca disini

Kemudian, ada remaja down syndrom yang bersepeda dengan riang, melintas.

“Itu down syndrome?” tanya Ayah saya.

“Iya, rumahnya di ujung situ loh,” jelas saya.

“Hebat ya, ada orang down syndrome jalan-jalan,” kata ayah saya lagi.

Lah piye tho Yah? Masak orang cacat ndak boleh keluar rumah?”

“Kalau di Indonesia, ada orang down syndrome lewat lak disorak’i. Dan nggak bisa ceria seperti di sini. Kalau ada yang cacat mental di Indonesia bisa keluar rumah, wes untung-untungan iku nggak dipasung,” tutur ayah saya lagi.

Saya meringis kecut.

2e3ff9e500000578-3309541-image-m-19_1447020851692
Kisah inspiratif dari model penyandang down syndrome di foto ini, ada disini

Bagi saya ada semua ada positif negatifnya. Ada enak dan ndak enaknya.

Kalau di sini, jadi manula ya anyep. Lah wong sendirian dan masih harus mandiri. Kalau di Indonesia kan enak, tinggal manggil becak, ada warung dan sebagainya. Tapi enaknya di sini, kesehatan gratis. Ya meskipun obatnya masih tetap beli, tapi kan ada diskon khusus untuk manula dan kalaupun harus operasi ya gratis.

Penyandang disabilitas dimana saja memang diharapkan untuk mandiri. Indonesia juga. Tapi sayangnya, masyarakat Indonesia masih kurang menghargai keberadaan mereka. Penyandang disabilitas masih direndahkan dan malah sering ditertawakan. Belum lagi kalau cacat mental, banyak yang dikurung, dipasung. Miris.

Menurut saya, memiliki keterbatasan fisik dan mental di negara maju lebih enak, karena negara benar-benar memfasilitasi mereka. Dari mulai kesehatan (fisik dan mental), fasilitas umum yang ramah pada disabilitas, dan perlakuan masyarakat juga sudah sangat dewasa. Tidak diolok-olok dan tidak ada yang dipasung!

Busselton, 170217 Jam 11:36 waktu Perth.

*ilustrasi foto cover : Shoes, taken by Nila Rogers. Private Location.